Just Lost - Cerpan

Just Lost

Pernah dengar yang namanya ‘sahabat’ ?
Aku yakin pasti kau punya, barang hanya seorang
Bagaimana kalau di dalam hidupmu hidup tanpa sahabat ?
Akan seperti apa ya rasanya ?
Mungkin akan hampa
Atau akan bahagia ?
Pernah bertengkar dengan sahabatmu ?
Pasti pernah, tidak mungkin tidak
Kalau saat ini iya, cepatlah berbaikan
Barangkali itulah pertemuan kalian yang terakhir
Kita boleh kok sekali-kali merenungkan semua itu
Akan sangat membawa dampak baik
Karena terkadang,
Makna sahabat yang sesungguhnya baru kau sadari jika ia telah tiada
Kau akan sadar, betapa pentingnya dia di hidupmu
Masih ingat ?
Penyesalan itu selalu datang terakhir lho…


***

Koridor rumah sakit itu begitu lengang. Membuat bulu kuduk Shilla agak berdiri. Merinding. Telah terbayang kembali olehnya akan tinggal kembali disana. Agak takut juga sih. Perihal ia sering membaca komik-komik hantu dan film bergenre horror yang menceritakan hantu rumah sakit. Namun sedikit pengalaman membuatnya tidak begitu takut.

Mata Shilla terus mengikuti arahnya berjalan. Ke arah ruang kemoterapi tepatnya.

“Tunggu sebentar ya dik, suster mau manggil suster yang lain buat nemenin kamu”

Shilla mengangguk dan tersenyum tipis. Melihatnya, suster itupun pergi ke arah lain.
Shilla menyalakan mp3 miliknya. Sudah lama sih, tapi sangat berharga olehnya. Karena itu pemberian terakhir dari sahabatnya. Sahabat yang selalu menemaninya saat kemoterapi 3 tahun lalu.

Shilla menggigit bawah bibirnya, batinnya selalu terkoyak jika mengingatnya. Ingatannya akan terus memutar cepat dengan kejadian itu. Kejadian yang membuatnya bersikap dingin pada semua orang. Semua, kecuali orang tua dan suster pribadinya.

Shilla memutar playlist di mp3nya, secara tidak sengaja Shilla memutar lagu yang menjadi sebuah soundtrack pada sebuah film yang sempat melonjak tinggi dipasaran saat ia kecil. Shilla mengeluarkan secarik kertas kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.

Aku harap kamu suka sama hadiahku ini
Dengan sebuah lagu yang aku persembahkan buat kamu
Walaupun lagu itu bukan buatanku
Pesanku sih, sahabat itu penting buat kamu
Aku tau, karena sejak kecil aku udah jadi sahabatmu kan ?
Kalau seandainya aku pergi, aku harap kamu cari yang lebih baik dari aku yaaa
Dariku

Sivia


Shilla memutar lagu itu cepat, hatinya selalu teriris pada bait ini, yang pernah dinyanyikan Sivia untuknya pada saat ia berulang tahun yang ke 14. Keduanya merayakan di rumah sakit tempat Shilla kemoterapi untuk penyakit kanker darahnya atau leukemia yang sudah mencapai stadium tiga. Cukup parah untuk anak berusia 14 tahun, masih terlalu belia untuk mengalaminya.

“This song for you, my besties” ujar Sivia saat itu.

Bila kau dapat mengerti
Sahabat adalah setia
Dalam suka dan duka
Kau kan dapat berbagi rasa untuknya
Begitulah seharusnya jalani kehidupan
Setia, setia dan tanpa terpaksa


Siapa sangka, diperjalanan Sivia pulang kerumah, ia kecelakaan motor dan koma selama 4 hari. Shilla tau itu, dan menyalahkan dirinya sebagai penyebab kematian Sivia yang sama sekali tak ia duga. Karena ia memaksa Sivia untuk datang.

Padahal Ibu Sivia sudah bicara bahwa bukan Shilla yang salah, melainkan takdir sudah berkata demikian. Semua akan terjadi jika Tuhan menghendakinya. Namun Shilla keras kepala.

Sejak saat itu Shilla trauma untuk menjalani persahabatan. Walau jelas, dalam surat yang diberi Sivia menerangkan bahwa ia harus mencari penggantinya.

Padahal , sebenarnya untuk apa trauma itu ? Bergunakah ?

***

Shilla duduk di koridor rumah sakit umum itu. Sudah seminggu Shilla menjalani kemoterapi di rumah sakit. Kemoterapi bukan kemauannya. Bagaimanapun kemoterapi dijalankan, dengan apapun usaha yang dilakukan, dengan berapapun biaya yang dikeluarkan, Shilla tetap tidak akan sembuh. Kanker darahnya sudah mencapai stadium akhir. Shilla tau, bagaimanapun usaha orangtuanya untuk menyembuhkannya, ia pasti akan segera mati. Tinggal menunggu waktu.

“Hei, anak baru ya?” sapa seseorang.

Shilla menoleh, tersenyum tipis. Manis juga ini cewek, batin Shilla.

“Gue anak lama, tapi gue balik lagi kesini buat kemoterapi”

“Oya? Eh nama kamu siapa ?”

“Nama gue Shilla. Lengkapnya Ashilla Zahrantiara”

“Namaku Agni Tri Nubuwati, panggil aja Agni”

“Oh, Agni ya. Lo-Gue aja sih ngomongnya. Nggak biasa sih soalnya”

“Hehe, aku, eh, gue, juga biasanya Lo-Gue tapi kalo ke orang yang baru dikenal sih aku-kamu”

“Oh, lo kemoterapi juga ?”

“Iya, tapi dulu. Sekarang udah enggak, soalnya udah akut sih. Percuma juga kalo di kemo, ngabisin duit ortu gue aja, jadi disini gue cuma bantuin suster buat anak-anak yang kemo disini, banyak deh anak kecil yang sakit kanker, kasihan. Lagian juga, semua obat-obat itu nggak mampu memperlama maupun nyembuhin gue”

“Oh, gue juga udah stadium akhir, apa gue gitu aja ya? Kaya lo? Males gue ikut kemo, rambut rontok”

“Jangan gitu juga. Tapi, terserah elo sih. Kalo gue pribadi, emang udah males banget buat kemoterapi. Udah parah, mau diapain juga gue bakal mati kan ? biar duit ortu gue buat adek gue aja, masih kecil mereka, masih butuh biaya buat sekolah. Lagian di rumah sakit ini juga ada layanan pendidikan kok. Gue masih bisa tetep belajar, dengan atau tanpa kemo”

“Iya Ag, gue tau kali. Kan gue udah bilang, gue anak lama”

“Iya dah”

“Hahaha, canda Ag. Oiya, emang lo sakit apaan kok mesti kemoterapi juga ?”

Agni melambaikan tangannya. Shilla bingung , “Apaan ?”

“Sini, gue kasih tau…” Agni mendekat ke telinga Shilla.

Alis Shilla bertaut. Matanya terbelalak.

“Serius ?”

“Iya, hehe. Hebat kan penyakit gue ?”

“Amazing. Berasa nge-los banget batin gue dengernya”

“Lebay lo, Shill. Emang lo sakit apaan ?”

“Kanker darah, leukemia”

“Wow, keren banget”

“Kok keren sih ? Penyakit apaan yang keren coba? Tetep aja itu penyakit nyiksa gue dan bikin gue mati”

“Seenggaknya itu terdengar lebih normal ketimbang gue, Shill”

“Apaan yang normal ? Udah kegeser otak lo !”

Agni terkekeh. Ini dia…

“Eh, Ag”

“Ha ?”

“Penyakit lo itu nular lewat udara nggak sih ?”

“Ya nggak lah ! Kalo nular mah gue udah di ruang instalasi kali, di amanin kaya sakit flu babi. Hahaha”

“Yaa, gue takut aja gitu”

“Lo nggak pernah ikut penyuluhan gitu apa ? Eh, denger ya. Penderita penyakit kaya gue ini, semestinya nggak dijauhin”

Shilla tersenyum jenaka. “Masa ?”

“Shilla, ayo kemoterapi..”

Shilla menoleh ke asal ajakan itu. Mendengus, “Aku males, suster”

“Kok males sih ? Ayo biar sembuh”

“Nggak bakal sembuh. Aku mau main aja”

“Ayo dong, Shill. Yuk dokter buat kemo kamu udah nungguin. Hargain dong, Shilla. Ayo ah”

“Aku udah bilang kan ? Aku males”

Suster itu menoleh ke arah Agni, “Agni, kamu yaaaa…”

Agni memberikan cengirannya, “Apaan ? Saya nggak ngapa-ngapain kok ! Liat aja Shillanya masih utuh kan ? Hahaha yaudah ya sus, aku mau ke kelas Koefisien ya !” Agni memberikan senyumannya, mengangkat jari telunjuk dan tengahnya kemudian dirapatkan dan di ayunkan dari kepala ke atas, “Bye Shill”.

“Agni ! Kamu tuh ya bikin suster kesel terus !” seru Suster.

Agni meloncat-loncat sambil berlari. Baru beberapa loncatan, berbalik, “Shill, kalo mau bolos kemoterapi, ke kelas Koefisien aja ya ! Itupun kalo lo seumuran sama gue ! Byee” Agni kembali meloncat-loncat layaknya kanguru.

Shilla mendelik, “Woi Agni !”

Agni berbalik lagi, “Apa ?”

“Umur lo berapa ?”

“Enam belas, kelas dua SMA ! Udah ya, kelas Koefisien pasti udah mulai , Shill ! Bye !”

Shilla tersenyum. Tersentak. Sikapnya, berubahkah ?

Batinnya lega sekaligus kaget. Siapkah ia ? Berteman lagi, bersahabat lagi ?

“Itu Agni , Shill, pasti udah kenalan” Suster membuyarkan lamunannya.

“Yaiyalah Sus, jelas-jelas saya udah manggil nama dia, duduk berdua disini”

“Okelah, ngapain aja dia ? Ngehasut kamu biar nggak kemo ya ?”

“Nggak kok. Sus, tapi beneran hari ini saya males kemo dan nggak mau kemo lagi. Liat aja, pasti ntar saya kesakitan dan rambut saya rontok. Botak-botak deh”

“Yaah, suster nggak bisa maksa. Trus sekarang kamu mau ngapain ?”

Shilla tersenyum penuh makna, “Anterin saya yuk keliling-keliling”

“Ngapain ?”

“Udaah anterin aja, ntar juga tau”

Suster menggelengkan kepalanya dan mulai melangkah di samping Shilla yang sudah mulai berjalan lebih dahulu.

***

Suasana kelas itu beda. Banyak yang beda. Sungguh ironis, memprihatinkan. Bukan karena kondisi kelasnya, namun muridnya. Kebanyakan murid yang ada di kelas itu memakai penutup kepala. Guna menutupi kepalanya yang rambutnya telah habis karena dihabisi penyakit yang menantang maut.

Gadis semampai itu melihat dari kaca kecil. Tersenyum.

“Suster, saya mau belajar”

Suster nampak kaget, “Hah ? Nggak salah nih ? Belajar ?”

“Iya”

“Bukannya dari dulu kamu tuh benci banget sama yang namanya belajar ya ? Ada angin apaan ?”

“Saya mau nyobain sekolah disini, nggak boleh ? Kenapa ? Ntar saya bilang papa-mama deh”

“Oke, oke. Tapi sekolah disini itu layanan lho , Shill”

“Udah tau , Suster, kelas Koefisien buat kelas dua SMA dimana ?”

“Itu di ujung, kamu mau ketemu Agni ?”

“Nggak tau, udah sih anterin aja”

“Yaudah deh ayooo”

Shilla tersenyum, dingin.

***

Walaupun sakit, namun memang disinilah seharusnya.

Ia tidak ragu menjalaninya disini. Memang tak seserius seperti sekolahnya dulu. Tidak seketat peraturan sekolahnya dulu. Tidak semegah bangunan sekolahnya dulu. Tidak semewah seragam sekolahnya dulu. Tidak seistimewa sekolahannya dulu. Namun ia menemukan kebahagiaan disini.

Ia terus menjelaskan sebuah rumus matematika di kelas ini pada seorang temannya, di kelas Koefisien. Bukan sebuah kelas yang ditujukan untuk benar-benar serius belajar. Yang ada disinipun tidak banyak. Hanya 9 orang saja.

Jangan salah juga, disinipun ada guru ahli yang mengajar. Yang pintar pelajaran, psikologis dan kedokteran. Ia seharusnya tahun ini lulus SMA. Bukan karena apa, selain sekolahnya terlampau cepat, ia juga ikut program akselerasi di sekolahnya dulu. Dulu sekali, sangat dulu sekali, ia pun merencanakan kuliah juga. Ia ingin merasakan bangku universitas. Namun apa daya, cobaan ini datang. Mampu menghentikan semuanya. Kehidupan, cita-cita, harapan, bahkan cinta.

Krieett…

Sebuah decitan pintu membuatnya menoleh pada asal suara. Ia tersenyum, memberikan cengirannya, memperlihatkan seringainya yang sungguh manis.

“Hei, dateng juga”

Gadis yang ada di balik pintu itu mengacungkan jempolnya. Suster yang mengantarnya, segera melangkah ke guru yang sedang menjelaskan pada murid lain, dan mengajaknya bicara.

“Ci, tolong jagain Shilla ya. Dia leukemia stadium akhir, jagain dia. Tadi dia ku ajak kemo nggak mau”

“Loh ? Kok nggak mau sih ?”

“Aku juga nggak tau, udah jagain aja dia. Jangan lupa, perlakuih hal yang sama seperti yang lain”

“Yaudah, makasih ya. Oya ruang rawatnya dia dimana ?”

“Kelas VIP satu nomer dua”

“Oke, serahin semuanya ke aku. Oya, dia masih kuat jalan ?”

“Masih, seperti yang kamu liat. Berdo’a aja dia tetap kuat”

“Itu mustahil mungkin. Udah, kamu kerjain yang lain sebagaimana mestinya ya”

“Yuk, aku duluan ya”

“Iya”

***

Hanya sebuah senyum, namun ia merasakannya dengan tulus. Ia sama sekali tak menyangka, seperti inikah ?

“Hei”

Shilla menoleh, “Eh, hei. Siapa ya ?”

Anak yang tadi memanggilnya hanya tertawa. Sejurus kemudian menyiram Shilla dengan segelas air.

Byurrrr…

Shilla kesal, “Aa, apaan sih lo ?”

“Ini cara gue kenalan, gue Cakka”

“Kenalan macem apaan ? So ? Penting gitu gue kenal elo ? Heh, gini ya. Disini gue mau belajar, bukan cari musuh”

“Heh bocah ! Gue juga nggak nya…”

“Woi lo berdua ! Kenapa kenapa ?” Agni melerai keduanya. Mengerti keadaan, ia menarik Shilla.

“Eeeh apa-apaan nih Ag ? Jangan ditarik dong guenya !”

“Udaah ikut gue”

Sampai di sudut kelas, Agni mulai berbicara.

“Itu Cakka. Dia anak baru disini, masih adaptasi. Dia berharap banget buat sembuh. Ya gue juga nggak ngerti sama caranya. Denger ya, waktu pertama kali gue kenal dia malah gue kenalan dengan cara lebih parah”

Dahi Shilla mengerut, “Lebih parah dari gue tadi ? Lo nggak liat rambut gue basah ?” Shilla meraih satu rambutnya dan mendapati beberapa helai rambut yang rontok. “Ah, rontok lagi gue ! Lama-lama gue pake penutup kepala juga nih gara-gara botak”

“Yaudah sih nyantai Shill. Nih, pas dia pertama kali masuk kelas, dia malah nyoret tangan gue pake cat. Gila kan ?”

“Cat ? Dapet cat darimana tuh anak ?”

“Au deh”

“Gila. Oiya, gue mau bersihin semua ini deh. Mau mandi bae dah gue”

“Yaudah lagian jam pelajaran juga udah selesai”

“Oya ? Eiya lo dirawat di ruangan mana ?”

“Di layanan kamar kelas 3, yang satu kamar 6 orang. Ngapain bayar mahal-mahal orang gue mau mati juga kan lagian gue juga nggak niat kemo kok”

“Wih, gue malah di VIP”

“Buset, enak bener. Temen sekamar lo siapa ?”

“Nggak ada, sebelah kosong. Di kamar gue ditemenin suster sih”

“Nih ya, di kamar gue isinya emak-emak semua sama anak kecil. Ya jadinya gue keluyuran gini deh, hahaha”

“Yaudah lo tidur dikamar gue aja , Ag”

“Hah ? Nggak lah, bayar darimana gue ? Nggak deh , thanks”

“Biar gue ngomong sama ortu gue”

“Terserahlah”

“Yoi”

***

Lampu kamar telah dimatikan. Semua telah terlelap. Gadis cantik itu mengerjapkan matanya, mencoba mengingat ia ada dimana.

Oiya, gue ada di rumah sakit ya ?

Ia berbalik, melihat ke arah bantalnya. Ouh, shit. Rambut gue tambah rontok.

Ia meraba belakang kepalanya, apaan nih ? Kulit kepala bukan ? Waaaa botaaaaak !

Melihat jam disebelah mejanya, “Jam dua pagi, hoaaam. Tidur lagi ah”

Ia mementalkan tubuhnya ke kasur lagi.

Ya Tuhan, rambut rontok. Ya gue sadar. Dan lebih sadar lagi di sekitar gue malah botak asli. Lebih plontos, haha. Agni malah dicepak. Dikit lagi pake penutup kepala juga tuh anak.

Mulai sekarang gue juga sekamar loh sama dia. Di kamar gue ! Yeay !

Agni..

Gue baru tau dia dari keluarga yang kurang mampu. Dulu aja dia sekolah di sekolah elite karena beasiswa. Beasiswa penuh lagi. Hebat. Dan dia pinter banget, bisa bikin bangga keluarga.

Walaupun dengan penyakitnya yang lumayan berat, dia tegar banget. Malah kaya nggak sakit sama sekali. Lah gue ? Pusing dikit nggak mau sekolah, sampe akhirnya ketauan ada sel kanker di tubuh gue.

Agni hebat, dia punya penyakit yang agak langka buat anak seusia dia. Sebenernya , bukan salah dia juga sih. Gila aja, kalo gue punya penyakit yang namanya A…


“Woi, Shilla, nggak tidur lo ?” Tanya Agni sambil mengucek matanya.

“Ini pengen tidur, udah ye gue tidur”

“Yo”

***

Merasa aneh. Entah ini hari keberapa ia telah bersahabat dengan gadis manis ini. Hari ini aneh. Ia bukan menjauh. Tebar senyum sih sudah biasa. Namun, senyum ini tidak biasa.

Shilla memencet tombol kursi rodanya.

Yap, sudah setahun ini ia telah memakai kursi roda. Telah memakai tutup kepala juga. Dan tak henti-hentinya ia mimisan dan pingsan. Ia sempat koma juga, namun terselamatkan. Pucat wajah telah biasa ia dapati ketika ia berkaca.

Ia kembali menelusuri koridor itu.

Matanya tertuju pada beberapa suster yang dengan panik mendorong sebuah tempat tidur beroda ke ruang IGD. Shilla merasa aneh. Ah, perasaan ini lagi. Sudah lama ia tidak merasakannya. Akankah ?

Shilla mendorong kursi rodanya lagi ke arah pintu IGD.

“Suster, siapa yang barusan ke dalem ?”

“Agni, Shill”

Jantung Shilla terasa segan untuk berdektak. Nafasnya tercekat.

“Ha ? Agni ? Agni yang seruangan sama saya kan ?”

“Agni ruang VIP 1 nomer 2”

“Iya itu kamar rawat saya, dia kenapa ?”

“Sesak nafas, radang paru-parunya udah parah. Tenang ya, kamu tunggu sini aja”
Shilla diam. Akankah ini terulang kembali ?

Ayolah, ini telah 4 tahun yang lalu. Shilla tak mau peristiwa itu terulang lagi.

Jangan lagi…

Cukup sekali saja, jangan lagi


***

Setahun lamanya ia berusaha tegar bersamanya. Menghadapi takdir bersama. Menjalani waktu bersama. Dihibur orang yang telah jadi jenazah itu dengan berbagai lawakan yang ia bisa. Walaupun ia tau, semua itu hanya bertahan sesaat.

Sahabat yang menemaninya telah pergi untuk selamanya. Kini ia sudah tenang dalam damai. Sahabat yang ditemuinya saat ia menjalankan kemoterapi.

Shilla kembali membuka lembaran kertas yang ia remas tadi. Mencoba memahami isinya dengan baik. Nuraninya masih tidak terima akan hal itu. Agni, sahabatnya yang sudah meninggal tidak mengucapkan atau berbicara kepadanya akhir-akhir ini. Entah sikap macam apa itu. Bersikap memusuhinya selama seminggu ini. Shilla masih tidak mengerti sikap itu. Tapi hari ini, pagi ini, saat ia bangun dari tidurnya, ia tersenyum. Anehnya, memeluknya dengan erat. Sangat erat.

Surat Agni. Hanya itu yang ia dapatkan darinya. Hanya beberapa untai kalimat pendek yang ia dapat dari Agni. Surat itu ia temukan seorang suster di saku Agni saat ia sedang digantikan bajunya, berganti oleh balutan kafan.

“Shilla, mau ikut apa enggak ke pemakaman?”

Shilla diam, “Iya”. Suaranya parau.

Haruskah ?

Haruskah yang menjadi sahabatnya harus mati ?

Haruskah meninggalkannya ?


Untaian air mata tak henti-hentinya keluar dari kelopak matanya. Seakan masih mampu untuk terus menangis. Rasa sesal kembali menghantuinya.

Ya Tuhan, apa aku ini sial ?Mengapa semua yang menjadi sahabatku, kau buat mereka meninggalkan aku disaat aku seperti ini ? Mengapa tidak aku saja ? Aku yang penyakitan ini hanya menyusahkan semua saja ! Ya Tuhan, aku bingung…

Shilla kembali membuka lembaran kertas itu, benar-benar singkat.

Hei, Shill :)
Buka lemari baju gue, cari amplop coklat. Akan ada yang lebih dari ini. Oke :D
Agni.


Shilla sadar. Oke, saat ini juga ia kembali ke kamarnya.

***

Gadis itu mengobrak abrik dengan kasar . Ia penasaran.

Ia menemukannya. Hanya ada satu amplop coklat, dibukanya itu.

Apa ini ? Kertas-kertas hasil check up ?

Perasaan hasilnya jelek semua deh

Lembaran ini, kuatkah ia membacanya ?

AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome )

Penyakit AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981. Penderita AIDS di dunia bertambah dengan cepat terutama di Amerika dan Eropa. Penderita AIDS di Indonesia berdasarkan publikasi DEP.KES.RI pada akhir Desember 1988 baru tercatat sebanyak 7 orang dan sekarang perkembangannya makin pesat.

Penyebab.
Penyakit AIDS disebabkan oleh virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus ). Virus HIV di dalam tubuh manusia akan melemahkan system kekebalan tubuh, tetapi pada saat ini telah diketahui pula bahwa virus HIV dapat juga menyerang sel tubuh manusia, misalnya otak, saluran pencernaan dan saluran pernapasan.

Gejala.
Timbul demam yang berlangsung lebih dari 1 bulan, mencret lebih dari 1 bulan, berat badan menurun, kelenjar getah bening membesar, letih terus-menerus, keringat malam. Biasanya penderita meninggal karena penyakit sekunder, karena tubuh penderita AIDS tidak dapat melawan penyakit yang masuk. Penderita AIDS meninggal karena radang paru-paru dan sering disertai pula sejenis kanker yang disebut sarcoma Kaposi.

Cara Penularan.
Penularan pada umumnya melalui hubungan kelamin, suntikan yang memakai jarum bekas penderita AIDS, bayi yang dilahirkan dari ibu penderita AIDS dapat ketularan penyakit AIDS pula.

Masa Tunas
Sejak tubuh kemasukan virus HIV sampai timbulnya gejala berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun lebih.

Pengobatan
Pada saat ini belum ada obat yang manjur untuk penyakit AIDS.

Shilla tertegun. Ini sebuah referensikah ?

Shilla membalik lembar itu. Ada lagi, tulisan tangan Agni.

Hei. Siapapun. Ini gue, Agni.

Gue penderita HIV/AIDS. Tapi bukan karena orang tua gue, ataupun gue seorang yang udah pernah melakukan ‘tanda kutip’ di masa remaja gue. Nggak, sama sekali enggak.

Kenapa gue bisa sampe sakit AIDS ?

Dulu, gue punya alergi sama bulu kucing, dan anehnya, saat gue check up, gue disuntik sama dokter. Gue nggak tau itu normal atau enggak.

Nah, sejak peristiwa jarum suntik itu, gue ngerasa aneh. Waktu itu umur gue masih 13 tahun. Bayangin dong, masih belia sekali gue.

Dan, gue check up di rumah sakit lain, dan gue divonis kena virus HIV dan berpenyakit AIDS. Sedangkan, gue sendiri punya radang paru-paru, gila nggak sih ?
Akhirnya dokter yang nyuntik itu masuk penjara akibat malpraktek terhadap gue. Gue jadi rada trauma sama dunia medis. Dan orang tua gue memutuskan untuk nyoba nyembuhin gue. Tapi, keluarga gue bener bener yang –sehari dapet duit, habis-. Gue juga nggak tegalah. Gue mutusin untuk tinggal dirumah sakit dengan beasiswa sekolah.

Yah, uang yang harusnya untuk sekolah, gue pake untuk tinggal dirumah sakit.

Temen sekolah gue bahkan takut sama gue, dan ngira gue ini cewek nakal. Padahal enggak.

Di rumah sakit ini, gue nemuin banyak temen. Yang pada akhirnya, saat gue nulis ini,
udah pada pake kursi roda sama penutup kepala. Rambut gue yang tadinya menjuntai panjang kaya rapunzel, gue potong jadi cepak gara-gara rontok pengaruh obat. Lama-lama rambut cepak gue rontok, dan akhirnya gue botak !

Gue mau cerita, temen sekamar gue saat ini, Shilla. Yang sekarang jadi sahabat gue, dia pertamanya malu karena botak. Akhirnya gue coba buat gue duluan yang make. Dan akhirnya diapun nggak malu. Dan guepun juga nggak ngelepas ini, sebab gue bener bener botak.

Yah, itu sedikit cerita gue. Terima kasih banget udah mau baca. Ini curhat loh :)



Shilla menjerit dalam hati. Inikah ? Dalam kesakitannya pun Agni masih sempat menulis namanya.

***

Hari demi hari terlewati. Sulit rasanya.

Gadis semampai itu juga tidak nafsu untuk melakukan kegiatan selain melamun, sungkan untuknya tertawa.

“Shilla, main yuk keluar”

Shilla menoleh, Ah, Cakka. Dia yang selalu menemaninya, Shilla tidak mau ini semua terulang.

“Kka, gue mau sendiri aja, lo jangan deket…”

Bruk. Shilla tersungkur dari kursi rodanya.

Kalau bisa, aku mau terapung disana bersama para sahabatku. Mereka menungguku, mereka, Sivia dan Agni. Aku mau bersama mereka. Jangan sadarkan aku kembali, aku mohon.

***

Sebuah trauma juga tak ada gunanya
Jika akhir darinya itu sama saja
Sebuah kematian yang memisahkan jarak
Terbawa oleh suatu cobaan
Melangkah kian jauh dengan pilu

Sahabat, aku selalu menyayangimu. Aku rindu.


***

Hei !

Kembali lagi dengan sad ending. Yap gue emang nggak berbakat bikin cerita yang bagus ya oke fine lupakan saja karena kau telah membacanya hahahaha #aneh #abaikan

As usual, gue selalu minta lo yang baca buat komentar, kritik, saran ke gue.

Hubungi (021) 500 600 ! Anda akan mendapatkan kelezatannya ! *eaea ganti iklan

Komentar

  1. keren..
    suka deh, nemuin cerita tentang persahabatan gini, lagi nyari banget hehe

    di tunggu karya kamu yang lain na, dan jangan lupa pasrt satunya :)

    BalasHapus
  2. woho makasih kak :DD
    waw kebetulan yah tuin :p

    sip, oke hahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer