I Back to You - Cerpen

I back to you

***

Rasa yang tertimbun ditumpukan paling bawah. Mendesak keluar, mengancam tumbuh. Setelah yang teratas berangsur rapuh, dia kembali. Dia jadi yang pertama, walau sempat tertinggal
Aku menatapmu. Tak ada lagi air mata. Kepala ini telah tegap dan siap menatap masa selanjutnya. Mataku tak bisa lagi memproduksi air mata yang dipersiapkan khusus untukmu.


***

Satu tahun yang lalu..

Kamu yang pergi, aku juga akan lakukan hal yang sama.
Aku pergi, dari kamu.

Move on, menurutku hal yang tersulit dalam suatu hubungan.

Aku sama kamu emang nggak pernah terjalin suatu tali hubungan yang resmi. Tapi, aku tau. Aku tau, dari mata kamu. Kamu memancarkan sinar malu saat mata kita bertaut. Tapi aku salah. Aku yang selalu besar rasa. Aku yang kepedean. Aku yang sok tau.
Kamu selalu pergi. Selalu menatap kedepan, tanpa pernah menoleh ke aku.

Hampir semua orang tau, aku.. aku suka sama kamu. Tapi semua orang juga tau, kamu jadian bukan sama aku.

Aku nggak masalah sama hubungan kamu itu. Menurutku, kamu sama orang lain dan bahagia, aku juga seneng. Aku seneng liat senyum kamu. Dan aku menikmatinya. Aku menikmati rasa ini sendirian, nggakpapa kok kalau kamu nggak ikutan nimbrung sama aku.
Ah, aku munafik banget. Aku nggak akan seneng kalau kamu sama yang lain. Aku bahagianya kalau kamu sama aku. Tapi kalau kamu sama aku, kamunya yang nggak bahagia. Aku tau.

Aku tau, hidupku baru 15 tahun dan nggak selayaknya aku suka sama orang sampai begini. Tapi, apa aku salah?

Apa rasa sayang ke kamu itu salah?

Aku nggak mungkin lari dari kamu dan pergi ke yang lain dengan paksa. Itu namanya pelarian. Jadi, izinkan aku, sayang sama kamu sampai rasa ini habis.

***

Sekarang..

Aku benar-benar menatap kedepan.
Kenangan hanya kenangan. Lagu kamu, kata-kata kamu, sikap kamu. Itu hanya kenangan. Kenangan ya hanya kenangan. Berapa kali aku harus bicara bahwa ini hanya kenangan? Kenangan adanya di masa lalu.

Kamu udah satu tahun sama dia, aku udah satu tahun move on dari kamu.

Nggak banyak orang yang tau, bahwa aku pernah suka pada dua orang yang begitu berbeda. Bahkan kakakku. Orang yang begitu dekat denganku selama ini. Hanya sahabatku, yang menjaga rahasiaku dengan begitu baik.

Orang-orang hanya tau, aku hanya pernah suka sama kamu saja. Tapi mereka salah.

Kamu itu, yang kedua. Haha, kamu jangan ge er dulu.

Orang pertama itu, temanku semasa TK, berlanjut sampai SMP. Tapi aku tak langsung menyukainya saat itu juga. Dia hanya teman kecilku sampai sekarang. Kita hanya teman.

Namun, ada sebuah insiden sewaktu kami duduk di bangku sekolah dasar. Kita surat-suratan di tengah pelajaran PKn yang sedari SD sudah memuakkan.

*dalam surat*

“Hanif sama Nisa pacaran ya?” begitu isi suratku padanya. Di tengah obrolan kami yang lain, karena obrolan sebelumnya, aku lupa.

“Iya, masa SD udah pacaran aja.”

“Haha, kalo kamu mau pacaran nggak?”

“Tergantung.”

“Yee, gimana sih. Eh, eh, kalo aku suka sama kamu, kamunya gimana ya? Nggak, nggaaak. Aku bercanda, Bi. Jangan diseriusin :p.”

“Weeh, boleh juga tuh kalo beneran. Lagian aku juga suka kok sama kamuu :D.”

“Iya? Waah, iya deng. Aku juga suka beneran sama kamu.”

“Haha, baguslah.”

“Kamu masih berniat pacaran?”

“Boleh. Tapi jangan terlalu sering surat-suratan ya! Kita ngobrolnya pas pulang sekolah nanti aja, sekalian pulang bareng… rumah kita kan deket. Kalo kita surat-suratan terus, nanti pelajaran kita keganggu.”

“Iya, lagian kamu juga sering kerumah aku sama temen-temenmu yang lain.”

“Hehehe, besok aku main lagi ya kerumah kamu.”

“Yah, banyak peer, Bi.”

“Yaudah, aku ngerjain peernya dirumah kamu aja. Jadi aku nggak usah mikir, kan kamu pinter.”

“Wooo maunyaa!”

Dia nggak membalas, surat itu hampir sampai di tangan guru. Namun dia pintar menyembunyikannya dengan menyelipkan surat itu di kaus kakinya. Dan pura-pura mencatat. Namun, setelah itu dia menghampiriku dengan maksud meminjam rautan putar yang selalu kubawa setiap hari. Sambil meraut, aku yang memang sedang duduk sendiri perihal teman sebangkuku sedang sakit Demam Berdarah, dia bicara, “Besok lagi ya surat-suratannya.”


Masa yang indah. Tapi nggak lama, aku berpaling ke kamu. Dia tetap bertahan, tapi dua tahun kemudian dia jadian dengan teman sekelas kami. Aku masih menunggu kamu.
Terima kasih untuk masa kecil kita yang indah.

***

Siapa sangka, kami satu sekolah kembali di SMA. Aku nggak pernah tau dia masuk SMA mana. Tiba-tiba saja dia menyapaku dan kami pulang sekolah bersama. Kita mengulang 7 tahun silam. Kita berdua menginjak kelas 2 SMA. Dia bercerita, bahwa dia tinggal di Australia selama satu tahun karena Ayahnya dipindah tugaskan disana. Tapi, ia meminta pada Ayahnya untuk kembali kesini. Ke Bekasi. Sekarang dia tinggal dengan Ibunya.

Aku, kalau jadi Abi, orang pertama yang aku suka itu, akan tetap tinggal di Australia. Kenapa? Aku juga tidak tau. Tapi, rasanya lebih nyaman tinggal disana saja. Daripada disini, aku terus melihat pemandangan sungguh menyesakkan melihat kamu didepanku.

Kamu, Aga. Dia, Abi. Beda.

“Kita berangkat bareng terus ya?” kata Abi padaku, sekarang. Di motornya, di perjalanan pulang kerumah kami yang benar-benar dekat. Hari ini uangku habis. Untuk memfotokopi suatu buku. Kami, siswa SMA yang akan menghadapi Ujian Negara yang begitu menyeramkan. Kami berdua satu kelas, di kelas ilmu alam.

“Bolehlah, gue juga irit ongkos kan ntar.”

“Woo, dulu aja, pas SD, kata lo ngirit tenaga, soalnya gue naik sepeda.”

“Iyalah, terserah lo sih. Kan lo yang mau nganterin gue.”

“Iyaa iyaa. Tau nggak, kenapa gue nawarin lo bareng terus?”

“Nggak tau, kenapa?”

“Gue kan mau nyelakain lo, bego. Gue kan nggak handal naik motor.”

“Eh? Sialan lu, turunin guee!!”

“Mau diturunin? Ini daerah preman lho.”

“Lagian lu sih, yaudah turunin gue di terminal.”

“Yaah, terserah. Tadi yang minta nebeng siapa?”

“Gue, yaudah turunin aja tuh depanan dikit.”

“Emang punya duit? Rumah kita masih jauh banget. Jakarta-Bekasi jalan kaki lumayan gempor lho. Apalagi ini masih di Pulo Gadung.”

“Aaah, yaudah deh.”

“Ah elu, Sa, cemen banget. Lo lupa dulu waktu SMP kita nge-track bareng di deket sekolah? Siapa yang menang? Gue kan?”

“Oiyaa, aaah, tipu lo!”

Dia tertawa lepas. Aku sadar, sebuah rasa kembali.

****

Ujian Negara telah terlaksana. Waktunya kami semua mencari Universitas. Tapi, Ayahku meminta aku untuk bersekolah di dekat pusat kantornya yang bercabang di Inggris. Oh Tuhan, siapkan mentalku.

Matahari kembali tenggelam, ada bulan yang menggantikan. Hah, ini pertama kalinya aku pulang malam karena harus mengurus perpisahanku dan acara pelepasan diluar kota.

“Abi, lo keterima dimana?” kataku.

“Sama kaya lo, kok.” Abi menyandarkan punggungnya di bangku kereta. Motor Abi sedang di service karena kemarin Abi jatuh dari motor. Motornya rusak parah, Abi nggak kenapa-kenapa.

“Eh? Gue keterima juga?”

“Iya, lo urutan ke 7 malah. Gue ke 20.”

“Waaah, gilaa asik amat.”

“Lo nggak lapor diri?”

“Udah. Tapi gue nggak kuliah disini.”

“Iyalah nggak kuliah di kereta.”

“Bukan, bodoooh.”

“Apaan?”

“Gue, kuliah di Inggris…”

“Inggris? Jauh amat!”

“Emang. Lo jadi di Indonesia aja?”

“Nggak, gue juga nggak disini. Gue balik ke Australia.”

“Jauh ya. Ntar kita bakalan Inggris-Ausi.”

“Wah, bakalan LDR dong kita?”

“LDR? Emang kita pacaran apa?”

“Belum.”

“Kok belum?”

Abi mengisyaratkan agar aku mendekatkan kepalaku padanya. Nampaknya ia ingin membisikkan sesuatu. Di kereta ini, entah mengapa begitu ramai dan banyak orang yang berlalu lalang serta tidur.

“Would you be mine?”

“Hah?”

"Mau nggak, kita mengulang yang dulu tertunda?"

Aku menatapnya sebentar, agak nggak percaya dengan kalimat yang terurai dari bibirnya yang sering menghinaku itu.

"Hah? Apaan yang ketunda?"

“Ah lemot banget sih, mau nggak jadi cewek gue? Walaupun nantinya kita LDR juga sih.”
Abi menjauhkan kepalanya lagi sambil menoleh kanan-kiri sambil mengusak belakang kepalanya.

Aku menyimpulkan senyum, “Boleh, tapi jangan terlalu sering telfon-telfonan ya? Mahaal.”

Ia terpaku, “Lho? Kata-kata gue tuh!”

“Iya gue tau, tapi kan waktu itu bukan telfon, tapi surat.”

“Sama aja, copycat lu.”

“Bodooo.”

“Eh, by the way, kita jadi pacaran nggak nih?”

“Jadi dong.” seringaiku.

Wajahnya begitu sumringah, senyumnya yang gimanaaa gitu terkembang di ujung-ujung bibirnya dan membentuk sedikit lesung pipi.
“Yes. Akhirnya, setelah ketunda pas SD dulu, jadinya sekarang! Wahahaha.”

“Heh, ketawanya! Malu-maluin banget sih, ini masih di kereta tau, tempat umum! Iyalah, dulu kan waktu SD nggak ada peresmian.”

“Bodo amaat, gini-gini gue cowok lo nih.”

“Cowok gue? Cacat abis.”

“Sialan.”

Kereta melaju dengan kecepatan biasa. Sepanjang jalan, kami terus tertawa bersama. Melepaskan momen indah dua insan, walaupun hanya dalam kereta yang isinya orang kelelahan semua. Begitupun kami.

Aku melihat jam tangan digitalku.

July 1st 20:01. Tanggal 1 Juli jam 8 malam lewat 1 menit.

***

Disini, di bawah bulan Kota London, aku tersenyum. Sudah bulan Juni ya?

Aga, makasih atas semuanya. Nggak ada lagi kamu yang kerumah aku hanya untuk minjem komik kesukaan kamu. Nggak ada lagi kamu yang menungguku saat aku sedang mencari komikku dimana saat kamu ingin meminjam.

Aga, makasih banget sama lagunya. Walaupun bukan buatan kamu, tapi aku suka banget. Makasih buat semuanya. Tapi disini, di hati aku, kamu udah nggak ada. Kamu cuma kenangan. Aku bersyukur pernah suka sama kamu.

Sekarang yang ada hanya Abi. Bukan cinta pertama. Abi nggak selalu jadi yang pertama, aku juga bukan yang pertama. Tapi nyatanya, sekarang dia yang pertama, buat aku.

Di depanku, terpampang dua sosok manusia dalam satu bingkai. Dalam satu pigura itu, terdapat 8 buah foto manis. Itu pemberian dari Abi 7 bulan lalu saat di Indonesia. Aku tidak tau berapa yang harus dikeluarkan Abi untuk membuat semua ini. Aku bahkan tidak tau, kalau Abi menyimpan semua ini. Bingkai ini berbentuk segi delapan.

Sudut yang pertama, saat kami masih TK, ada aku yang sedang tertawa.

Sudut kedua, saat kami perpisahan SD.

Ketiga, aku dan Abi saat home stay di Melbourne kelas 11.

Keempat, di Bali, saat acara perpisahan dilakukan. Suasana sunset, Abi dengan kaus Polo hitam dengan celana panjang hitam dengan hiasan kacamata hitamnya yang menggantung di kerah. Ah, Abi nampak seperti orang mau melayat. Sedangkan aku? Sederhana, celana panjang hitam dan baju putih panjang hingga di atas lutut dengan kerudung putih panjang pula.

Kelima, foto di kelas kami saat kelas 12 dengan baju agak kotor setelah bermain cat dan pelepah daun pisang untuk gapura perpisahan.

Keenam, memakai baju wisuda saat lulus SMA.

Ketujuh, saat aku sendiri di ‘Big Ben’ sambil mengangkat kertas bertuliskan “Abi” tinggi-tinggi. Orang yang lewat, mungkin mengira aku sedang demo.

Kedelapan, ada Abi yang memakai jaket dan jam tangan pemberianku di depan rumahnya di Sydney.

Ini dia foto yang dipasang Abi di tengah sendiri. Aku juga merasa ini yang paling bagus dan momen serta pakaiannya pas. Ada Abi dengan setelan jas hitamnya dan aku yang memakai kebaya krem dengan songket dan kerudung yang senada. Engg, persis kayak orang kawinan. Geli banget, tapi seneng juga sih.

Semua foto kronologis, kecuali yang di tengah itu. Ah, Bulan Juni tanggal 29 aku pulang ke Indonesia. Abi tanggal 30nya. Ayolah, ini anniv kita yang pertama. Ketemu yuk, aku kangen.

Aku menutup jendela kamarku. Duduk menyandar di bay window sambil memandang langit London. Menunggu hari esok, memulai hari baru.

***

Apakah yang pertama akan jadi yang terakhir?
Aku nggak tau. Hanya Tuhan, Dzat yang Maha Besar yang tau semua itu.


***

Thanks banget buat semuaa :) *peluk
Cerpen ga jelas cuma buat ngeganjel cerbung yang stuck di part 5(belum selesai)
Tungguin terus yaa *semua pergi*
I still need a comment! Kritik, saran, dan bla-bla-bla bisa diliat di bio ya
Haha, do'ain gue ya semoga nilai UAS bagus dan UN lancar! *banyak maunya
See you!

Komentar

Postingan Populer