Cinta Dalam Hati

Cinta Dalam Hati

Menyukai seseorang, tak semudah menghitung satu ditambah satu
Menyukai seseorang juga tak terhingga indah rasanya
Menyukai seseorang membuat kita pandai merangkai kata
Namun tak pelak bahwa menyukai seseorang itu menyakitkan
Karena belum tentu rasa suka kita dibalas oleh orang yang kita suka
Terkadang malah orang yang kita suka hanya menganggap kita sebatas teman
Tapi kita sudah berharap lebih kepada mereka
Atau lebih tragis, orang yang kita suka justru malah memandang kita dengan pandangan buruk
Entah apa, yang jelas mereka tidak menyukai kita
Sangat tidak suka
Cinta dalam hati pun begitu
Hanya memendam rasa sendirian tanpa teman
Hanya memendam rasa sambil berharap
Hanya memendam rasa sambil terus berusaha mempertahankannya
Entah mempertahankan untuk apa
Cinta dalam hati hanya bisa menunggu
Namun cinta itu baik
Bagaimana tidak ?
Cinta itu bahagia bila pasangannya bahagia
Tak perlu bersama dirinya
Asal pasangannya bahagia, tertawa, bersuka-ria
Cinta pasti akan ikut serta dengannya
Walau akhirnya cinta itu hanya sendiri tanpa teman
Sendirian
Itulah kata yang pantas untuk seorang yang sedang cinta dalam hati
Cinta itu akan terus tersenyum walaupun pasangannya tidak membalas perasaannya
.
***
Seakan turut berduka, cuaca pagi itu mengiringi kepergian seseorang dengan damai. Langit hitam, dengan sambaran kilat dan guntur yang terus bersahut-sahutan. Seakan turut menangis, bersedih, langit menurunkan air matanya ke bumi, mengguyur sang bumi dengan pedih.

Dengan langkah lesu, remaja perempuan itu keluar dari ruangan ICU. Masih dengan mata yang sembab, tubuh yang makin lama kian kurus , jauh lebih kurus dari sebelumnya, ia duduk di kursi tunggu di lorong rumah sakit itu. Tangannya meremas kertas itu dengan hampa. Tatapan matanya kosong. Ingin mengeluarkan air mata, namun sepertinya matanya tak kuasa menghasilkan air mata. Bukan karena apa, remaja perempuan itu telah menangis semalaman. Pasrah pada tuhan. Pasrah akan keputusan, akan takdir.

“Agni, ayo sayang kita makan dulu di kantin. Setelah itu kita ikut ke acara pemakaman papa” ajak Mamanya lembut. Keadaan Mama Agni pun lebih parah-jauh lebih parah daripada Agni. Lingkaran hitam pada bawah matanya menghiasi wajahnya yang cantik itu.

Agni mengangguk lemah. Batinnya masih terkoyak dengan kepergian papanya yang masih tidak bisa ia terima. Walau ia tau apa penyebabnya.

‘aku benci jantung papa’ gumam batinnya geram.

***
Kejadian itu telah berlalu lama. Saat itu Agni masih kelas 6 SD. Papa Agni meninggal karena gagal jantung. Usaha transplantasi akan dilakukan, namun semua itu terlambat.
Agni sudah tidak ingin bahkan mengenang semua itu sebagai kenangan pahit yang perlahan lenyap dari kehidupannya. Tapi masih ada satu hal yang tidak akan pernah bisa Agni lupakan, jantung. Organ tubuh Papa atau siapapun bahkan dirinya sendiri yang paling Agni benci. Konyol kedengarannya. Karena tanpa jantung manusia tidak akan pernah hidup. Tapi Agni sangat membencinya. Agni tau semua itu. Dan Agni juga telah berusaha menghilangkan kebenciannya itu. Namun tidak bisa.

Ada alasan mengapa Agni membenci jantung. Tentu ada. Semua pasti ada alasan. Agni juga mengidap penyakit jantung. Lemah jantung tepatnya. Itulah alasan mengapa ia membenci organ penting dalam hidup itu. Kondisinya itu lah yang membuat Mamanya jadi over protektif padanya. Membuatnya tidak bebas melakukan segala hal yang ia inginkan.
Agni menyembunyikan penyakitnya itu dari semua teman barunya. Teman SMPnya, teman SMAnya, semua temannya. Ia tidak ingin dikasihani, ia tidak mau semua orang menatap kasihan padanya. Agni mau semuanya berjalan seperti biasa, tidak ada apa-apa.
***
Ruangan dengan warna pelangi itu adalah miliknya. Nuansa ceria selalu terasa ketika memasukinya. Lantunan lagu juga pasti terdengar di dalamnya. Serta ada rasa sensasi kesejukan tersendiri ketika berada di dalamnya.

Itulah yang dirasakan oleh Dea, sahabat Agni saat ini. Mereka bertemu di SMA. Dea, dengan segala kekurang perhatiannya pada lingkungan, asyik mengunyah kue brownies yang ia ambil dari kulkas dari dalam kamar Agni. Dengan lahap kue itu raib olehnya. Dan dengan asyik pula ia menonton tv di sofa dengan kaki yang dilipat.

Agni yang melihatnya hanya tersenyum. Ia senang bersahabat dengan Dea. Sifatnya yang ceplas ceplos lah yang membuatnya tertarik untuk berteman dengan Dea.

Walau begitu, sebenarnya jiwa Dea rapuh. Seringkali bahkan selalu Dea bercerita pada Agni tentang semua masalah yang dihadapinya. Dengan sabar, Agni mendengarkan semuanya. Mereka berdua tanpa sadar telah saling membagi rahasia kepada masing-masing. Tapi satu hal yang Dea tidak ketahui, sahabatnya itu lemah jantung.

Entah apa yang akan Dea lakukan nanti jika mengetahuinya.

Apakah akan marah karena ia dianggap bukan sahabat oleh Agni ?

Atau ia akan menaruh perhatian dan penjagaan ketat pada Agni?

Atau ada kemungkinan lain?

Entahlah, semua akan diketahui nanti.
***
Masih di ruangan penuh warna, kamar Agni. Keduanya-Dea dan Agni diam untuk beberapa saat. Kemudian dilanjutkan dengan tawa Dea yang amat sangat lepas. Agni gusar melihatnya, dan menaruh telunjuknya di depan bibir, isyarat agar Dea diam sebentar.

Muka Agni merah padam. Ia tau hatinya sedang kenapa. Mengapa ia begitu gusar ketika melihat Alvin dekat dengan perempuan lain? Mengapa hatinya menolak kehadiran perempuan itu di dekat Alvin ? Agni mengerti, namun apakah salah hatinya seperti itu?

“Itu tandanya lo cinta, Agni..” ujar Dea setelah berhenti dari tawanya.

Agni melotot mendengarnya, lalu beranjak dari kasur empuknya itu dan mengambil sesuatu dari lemari kulkasnya itu. “Nggak, nggak, gue aja nggak ngerti cinta itu gimana”

“Lo nolak kehadiran dia sebagai cinta di hati lo?”

“Sebisa gue iya”

“Nggak bisa Ag, ngilangin cinta itu susah lho”

“Iya gue tau kok, udahlah de, nggak usah bahas dia lagi”

“Dia siapa?”

Agni berbalik, sekarang ia menghadap Dea, “ Alvin lah, siapa lagi. Nggak usah sok bego deh”

“Hahaha, iya iya. Tapi gue seneng bahas ini, lo kan nggak pernah cerita tentang ini sebelumnya”

“Ya itu semua memang karena gue nggak pernah cerita ini sebelumnya. Lagian juga sukanya udah lama”

“Hahaha, iya deh iya, tapi gue tertarik nih”

“Udah deh de, nggak usah bahas gue ataupun Alvin lagi. Lagian apa menariknya sih bahas ginian?”

“Au deh, gue tertarik aja”

“Lo tertarik gitu sama Alvin?”

“Nggak lah, tapi iya sih dia ganteng, tapi gue kan udah ada Rio, Ag. Lagipula Alvin kan sepupu gue.. gimana tertarik coba? Aneh lo mah Ag”

Agni duduk di sofanya, “Udah de, nggak usah dibahas. Nih, pilih mana? Bahas Alvin atau coklat swiss ini?” tawar Agni sambil mengacungkan dua bungkus coklat di genggamannya.
***
Pagi ini sangat pagi yang buruk untuk Agni. Bagaimana tidak? Ia kesiangan.

Agni terus berlari dengan kencangnya. Suasana jalan sudah ramai akan orang berangkat kerja.

“Mampus aja nih gue, telat kan, ah gila” gumam Agni ketika melihat jam tangan hitam yang melingkar indah di tangannya sambil terus berlari.

Rambut sebahu Agni yang memang selalu ia kuncir dengan asal, pagi ini lepas. Dan kuncirannya jatuh entah kemana.

“Ah elah pake jatoh segala kan” omelnya, namun tetap berlari dengan kencang, sedikit lagi gerbang ditutup.

Tidak dipedulikannya jantungnya yang seakan menekan dadanya. Sakit. Ya itulah rasanya. Namun bukan Agni namanya jika ia menyerah.

“Tunggu pak, jangan ditutup dulu” tangan Agni mencegah gerbang yang tinggal sedikit lagi ditutup dan akan menyebabkan bel berbunyi tanda masuk.

“Eh tumben neng Agni terlambat” ucapnya sambil membukakan pintu gerbang

“Iya, nih pak, aduh..” badan Agni terjembab ke arah dinding karena tersenggol seseorang yang entah siapa menabraknya.

Agni berbalik dan bersiap untuk mengomel. “Elo tuh kalo jalan liat-liat..”

Alvin-orang tadi, memalingkan mukanya cuek, “Maaf”

Pak satpam tadi melihat dua murid ini aneh, “Neng Agni, Mas Alvin, kok pada diem?
Ayo masuk, bapak mau nge-bel nih”

Agni langsung ngeloyor pergi begitu saja dan segera berlari kecil menuju kelasnya.
Tanpa menengok ke arah manapun, kecuali titik fokus matanya, kelas tercinta.
***
Suasana kelas 11 IPA 3 riuh. Patton, sang ketua kelas mendengar kabar bahwa kelas 11 IPA 2 kemarin ada ulangan matematika. Matematika yang bernotabene pelajaran pertama untuk hari ini, sukses membuat rusuh penghuni kelas 11 IPA 3.

Panik untuk Agni, tapi tidak untuk Ify, sang juara matematika.

“Mampuslah gue, dari awal bangun tidur sampe sekarang, siaaaal mulu” omel Agni sambil membuka resleting tasnya dan mengambil buku matematika.

“Haha, emang tadi lo ngapain aja Ag?” tanya Dea yang ikut nimbrung ke meja Agni dan Ify yang memang sebangku.

“Bangun tidur, kesiangan, pas pengen mandi, rebutan dulu sama Kak Gabriel, mana dia mandinya lama banget, luluran kali tuh orang, trus angkot pada penuh, terpaksa gue lari dari rumah sampe sini, eh nyampe gerbang, ditabrak sama…”

“Sama siapa?” tanya Ify dan Dea berbarengan

“Bu Uci, Bu Uci !” komando Patton yang langsung masuk ke kelas dan duduk rapi di tempatnya.

Spontan, Dea langsung kembali ke tempat duduknya, dan Ify-Agni juga membetulkan posisi duduknya.

“Bersiap, memberi salam” komando Patton

“Selamat Pagi Bu”

“Selamat Pagi anak anak, oke, sudah siap semua?”

“Siap untuk apa bu?” celetuk Cakka iseng, inilah strategi kelas 11 IPA 3 kalau ada ulangan. Pura-pura tidak tau, padahal sebenarnya tau.

“Ulangan”

“Hah ? ibu kan nggak ngasih tau apa apa” seru Cakka

“Sengaja tidak ibu beri tahu, ibu hanya ingin melihat sejauh mana kemampuan kalian dalam bab ini, ayo, semuanya siapkan alat tulis, jangan ada barang lain selain alat tulis di atas meja kalian. Yang mencontek, nilainya dikurangi 5”

“Yaaaaaaah” seru murid 11 IPA 3 kompak

Agni mendengus pasrah, yaah, nasib deh.
***
Kamar bernuansa pelangi itu seakan ikut mewakilkan sifat para remaja yang ada di dalamnya. Dengan “backsound” lagu Ungu yang sudah agak lampau, mereka ber-“curhat” ria sambil mengemil asik dengan derai tawa yang cukup renyah.

“Hahaha, lo sih Ra, tingkahnya konyol” komentar Ify dengan mulutnya yang masih penuh dengan roti panggang buatan Mama Agni.

“Habis bu Uci sih, masa keliling-keliling kelas mulu, yaudah lah gue bertingkah begitu” Zahra membentuk wajah cemberut dan bukannya bersimpati, kawan-kawannya justru tertawa terbahak-bahak, tak terkecuali Agni.

“Ahelah, udah bahas topik lain” ucap Zahra masih dengan kesal

Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengangumi tanpa dicintai


“Lagu cinta dalam hati nih” komentar Zahra

“Eiya, kenapa ya, kebanyakan orang, lebih suka mendem perasaan sukanya ya daripada secara gamblang bilang dia suka sama orang itu?” tanya Dea sambil mengerling licik kepada Agni yang sontak tersedak saat meminum jus jambunya.

“Iya, gue juga bingung” sahut Zahra yang memang tertarik akan hal macam seperti itu

“Lo Ag? Tau nggak? Biasanya lo tau tentang beginian” sahut Ify

Agni tersenyum, otaknya mencoba merangkai kata , seperti biasa, Agni selalu menjadi tempat teman-temannya bercerita, “Kenapa orang lebih suka mendem perasaannya? Hem, menurut gue sih, itu karena mereka mungkin belum yakin sama perasaannya jadi dia masih bingung, atau nggak mau orang lain ikut campur dengan hatinya, atau juga, orang yang dia suka udah dimiliki sama orang lain, atau bahkan karena faktor lain”

“Maksudnya?” tanya Dea tak faham

“Nah, untuk kasus pertama itu, dia masih bingung sama perasaannnya, takut salah menilai perasaannya, apakah hanya sekedar rasa kagum atau memang bener-bener suka, cinta. Takutnya dia salah nilai perasaannya trus bikin orang yang bikin dia kagum jadi gede rasa, makanya menurutnya lebih baik teliti dulu perasaannya lebih dalam sebelum memproklamasikannya pada orang terdekatnya. Jadi menurutnya lebih baik simpan dulu perasaannya daripada menimbulkan komentar yang enggak-enggak”

“Yang kedua?” tanya Zahra penasaran

“Yang kedua, dia nggak mau orang lain ikut campur dengan hatinya. Mungkin dia cuma mau rasanya yang lagi berbunga-bunga itu nggak di-ikut-campuri oleh orang lain, istilahnya dia nggak mau ada orang lain yang ngurusin perasaannya deh, nggak mau ada yang ikut campur, dia risih mungkin. Mungkin itu tipe orang yang nggak suka curhat kali, jadi di pendem terus perasaannya”

“Ketiga?” tanya Dea dan Zahra bersamaan, Ify yang melihatnya hanya menggelengkan
kepalanya tanda maklum.

“Ketiga, orang yang dia suka udah dimiliki orang lain atau dia suka sama orang yang udah suka sama orang lain, bertepuk sebelah tangan gitu deh. Jadi gini, kita kan nggak bisa maksain hati kita buat suka sama orang kan? Bukan sepenuhnya salah kita juga kalo kita suka sama orang yang udah dimiliki atau suka sama orang lain, kita juga nggak bisa maksa. Rasa itu kan dateng sendiri, nggak bisa kita tolak. Lah gimana mau nolak? Sadarnya aja setelah kita nggak sengaja merhatiin dia lebih jauh. Jadi daripada nyakitin pasangan orang yang kita suka, mendingan kita simpen aja baik-baik perasaan suka kita sama orang itu. Tujuannya sih biar nggak ada pihak yang tersakiti dan dengan perlahan melenyapkan perasaan itu. Walaupun kita sendiri yang nantinya bakal sakit hati nggak ketulungan. Cinta kan baik, selalu bahagia jika orang yang dicintai itu bahagia”

“Trus?” tanya Ify

“Trus apaan?”

“Yang ke empat?” tanyanya lagi

“Yang keempat ya, hemm, faktor lain. Faktor lain kan banyak. Ada faktor karena dia masih mau mikirin karir atau sekolah dulu dibanding cinta, jadi dia sengaja mau nikmatin cinta itu sendirian. Atau juga karena faktor orang tua? Orang tua nggak ngizinin anaknya pacaran dulu, jadi anaknya itu mendem perasaannya. Bahkan ada, yang udah punya seseorang yang special kembali jatuh cinta sama orang lain, nah lho? Rumit kan kalo sampe terjadi pertengkaran hanya karena cinta? Jadi dia mutusin untuk mendem perasaannya aja, dia juga nggak mau 2 orang yang disayanginya berantem. Simpelnya sih gitu aja, masih banyak sih faktor lain, nanti juga pelan tapi pasti kita bakal tau kok. Yang penting kita menjaga hati aja”

“Masa sih? Kalo orangnya keburu mati gimana?” tanya Dea kritis

“Keburu mati? Maksudnya dia sakit parah trus belum sempet ngungkapin sukanya gitu ke orang yang dia suka?” tanya Agni meminta penjelasan.

“Iya mungkin, kan kayak yang di tv-tv itu”

“Menurut gue sih, mendingan bilang ke orang yang disuka dulu sebelum semuanya terlambat, biar nggak ada penyesalan dan kedua pihak sama sama lega”

“Maksudnya?” tanya Ify bingung

“Daripada mati ninggalin sesuatu yang belum tersampaikan? Nggak enak kan? Bebannya tambah berat dong, kasihan. Paling nggak, sebelum dia mati harus bilang bahwa dia suka sama orang yang dia maksud. Biar kedua pihak sama sama tau, dan ada kepastian tentunya”

“Nembak gitu?” tanya Zahra

“Nggak juga, bukan berarti ngungkapin perasaan kita ke orang yang kita suka itu nembak kan? Menurut gue sih enggak, soalnya nggak ada kata kata ‘mau nggak jadi pacar gue’ atau semacamnya, hanya bilang doang kan? Cuma ngungkapin doang kan? Nggak nembak kali menurut gue sih, biar hati kita lega-an dikit gitu kan orang yang kita suka jadi tau perasaan kita yang sebenarnya langsung dari kita, bukan dari orang lain. Orang lain kan bisa aja bilangnya kelebihan atau kekurangan dengan apa yang kita maksud”

“Berarti orang yang cuma bilang suka itu bukan nembak dong?”

“Menurut gue sih gitu , tapi tergantung juga sama yang bilang suka, maksud dia bilang gitu tuh nembak atau bukan. Kalo nembak ya syukur, masih ada yang mau sama kita, kalo nggak yaudah, syukur juga ada yang masih suka sama kita yang nggak sempurna”

“Gitu ya?”

“Iya tapi itu menurut gue, pendapat gue, pendapat orang tuh beda-beda loh”

“Iya sih, tapi balik lagi deh ke yang tadi, kalo lo jadi dia, lo bakal ngapain?” tanya Dea

“Kok gitu? Lo doain gue cepet mati gitu?” sahut Agni kaget

“Nggak Ag, bukan, misalnya nih ya, misalnya, lo suka sama orang dan lo ada penyakit trus lo diprediksi waktu hidup lo nggak lama lagi, lo bakal ngapain?” jelas Dea

“Sebisa gue, sekuat gue, walaupun nantinya gue bakalan malu banget trus nggak kuat liat dia lagi, gue akan tetep bilang, gimanapun caranya. Karena gue nggak mau mati bawa beban sepele kaya gitu, masa mati masih mendem rasa ke orang? Daripada mati penasaran trus gentayangan? Hehe nggak sih, kalo gue mah pasti bilang secepatnya”

“Gitu ya? Berani banget lo, Ag” komentar Zahra

“Gue setuju, walaupun orang yang disuka pada awalnya nggak tau kan perlahan bakalan tau dan merasa nggak enak hati, seenggaknya bahagiain dikit kek dan hargain dikit gitu sama perasaan orang. Masih syukur ada yang suka sama dia” sahut Ify
Dea terdiam, hatinya membulatkan tekad sesuatu, walaupun masih ada sedikit keraguan dihatinya, niat itu akan segera ia laksanakan.
***
Suara burung menghiasi indahnya pekarangan rumah bernuansa hijau itu. Diiringi dengan dentuman bola basket yang sesekali membentur dinding dan tak jarang menyenggol pot bunga milik nyonya rumah.

“Bang Alvin” sapa sebuah suara yang amat familiar di telinganya.

Alvin menoleh, melihat orang yang berdiri di depan pintu pagarnya, ia segera membuka pagar dan mempersilahkannya masuk.

“Eh Dea, kenapa?” tanya Alvin sambil memperhatikan Dea yang datang tiba-tiba kerumahnya. Habis Dea jarang sih datang kerumahnya, tumben.

“Ini, ada kue dari Mama” Dea menyodorkan sebuah kotak makan ke Alvin. Alvin segera meraihnya.

“Apaan nih?” tanyanya

Dea menyambar bola basket Alvin, “Liat aja sendiri”

Alvin membuka kotak makannya, “Wow chiffon, makasih ya” ucapnya.

“Iya, eh, lo tau Agni kan, bang?” tanya Dea. Nggak heran terkadang Dea manggil Alvin dengan sebutan ‘bang’. Alvin adalah sepupunya. Mama Alvin merupakan kakak dari mamanya. Bukan sepupu jauh.

“Tau kok, temen SMP gue”

“Pernah sekelas?”

“Bukan pernah lagi, 3 tahun sekelas mulu”

“Tau apa aja tentang Agni?”

“Hm, apa ya. Anaknya baik, agak ceplas-ceplos, kalo ngomong frontal, apa yang ada di otaknya langsung di omongin, doyan makan sama tidur di kelas, suka main basket..”

“Yeee kalo itu gue juga tau, gue kan sekelas sama dia dari kelas 10”

“Ya kalo gitu ngapain nanya ke gue?”

“Nanya aja, barangkali ada sesuatu yang nggak gue tau”

“Hmm, apa ya?”

“Apa? Yang aneh atau mencurigakan gitu?”

“Ada sih, gue juga bingung waktu tau, dia pasti selalu telat dateng kalo mau olahraga, nggak tau tuh ngapain dulu di ruang ganti”

“Maksudnya?”

“Masa nggak ngerti? Telat terus, datengnya pas udah pemanasan”

“Kira-kira dia ngapain?”

“Hmm, waktu itu sih gue pernah liat dia nyesek banget habis lari 20 putaran, ya tapi biasa aja sih, yang lain juga sama bahkan ada yang pingsan, tapi anehnya Agni sampe nyesek banget lah pokoknya”

“Trus?”

“Trus apa?”

“Dia bawa obat nggak?” kali ini Dea menanyakan dengan sangat hati-hati

“Obat? Nggak sih, tapi gue pernah mergokin dia lagi nangis di sekretariat olahraga waktu sore pas habis ekskul, dia megangin dadanya, kayak lagi kesakitan”

“Serius?”

“Iya, gue kan satu sekretariat sama dia, dia basket, gue futsal, yasudahlah satu jenis olahraga kan”

Dea melamun, hatinya masih ketar ketir dengan penjelasan Alvin. Ingatannya kembali memutar kejadian bulan lalu.

“Emang kenapa De?” tanya Alvin lagi. Dea sedikit kaget, namun segera mengendalikan dirinya.

“Nggak kok, eh, lo tau nggak bang waktu SMP Agni suka sama siapa?”

“Nggak tau, gue nggak begitu deket sih walaupun 3 tahun sekelas, jarang ngomong tapi yaa lumayan deket lah, lagian juga sikapnya sama sekali nggak nunjukin bahwa dia suka sama orang”

“Yang bener, deket atau nggak deket?”

“Deket tapi nggak deket”

Dea mengangguk-angguk mengerti, pantas saja. Ia juga baru tau beberapa waktu lalu ketika ia tak sengaja mengutak-atik lemari Agni yang memakai kode, seperti brankas. Dan entah mendapat ide darimana, ia memencet tombol “2009” yang artinya 20 September, tanggal lahir Alvin. Memang sih, banyak yang lahir ditanggal itu, namun dengan yakin Dea menanyakan hal tersebut ke Agni dan sukses membuat wajah Agni merah padam. Dan untuk pertama kalinya, Agni memberitahukannya pada orang, yaitu Dea.

Tapi, Dea belum sempat melihat isi lemari itu, karena keburu Agni tutup pintunya. Anehnya, hanya lemari itu yang diberi kode. Aneh, pikir Dea.

“Dea?” panggil Alvin

“De?”

“Deaaa?”

“Hoi ! Dea !”

“Woy, orang ! bangun woy jangan ngelamun !”

Dea tersentak, lalu memberikan sebuah senyum manisnya pada Alvin.

“Yaudah deh, gue pulang ya bang. Salam buat bude”

“Iya, hati-hati ya De”

“Iya, bye”

“Bye”

Alvin mengantar Dea sampai pintu pagar, “Dea, gue anter pulang deh”

“Nggak usah, rumah gue deket ini”

“Yaudah, gue udah nawarin loh ya”

“Iya, iya, udah ya, bye”

“Bye”

Sekali lagi Dea tersenyum pada Alvin, agak kecewa juga dia dengan Alvin yang kurang faham bagaimana Agni. Tapi, ada informasi baru juga yang Dea dapatkan dari sepupunya itu.

“Gue ke rumah Agni sekarang deh”
***
Dengan ceria, Agni membuka pintu pagar rumahnya dan mempersilahkan masuk si tamu ke dalam rumahnya.

“Naik ke kamar aja dulu De, gue ambil makan dari dapur, di kamar gue persediaan makanan tinggal dikit”

Dea mengangguk dan segera berlari kecil ke kamar Agni, menjalankan rencananya.

Sesampainya di kamar Agni, Dea langsung membuka lemari dikamar Agni.

“duapuluh kosong Sembilan” gumamnya sambil memencet beberapa tombol

Diiiit….

Laci itu terbuka secara otomatis.

Dea terbelalak ketika melihat apa yang ada di dalam laci itu.

Hawa dingin mulai menyerbunya, siapa sangka lemari itu adalah kulkas ?

Beberapa botol obat-obat serta alat bantu pernafasan untuk orang asma, yang lebih mengagetkan lagi, ada alat bantu oksigen yang ada di rumah sakit serta tabung oksigen berbotol-botol. Dea meraih botol obat, menggoyangkan tempatnya, tak terdengar suara gemuruh obat terkocok di dalamnya. Dea segera membuka tutup obatnya, “kosong” gumamnya.

Dea mengambil botol obat yang lain, “ kosong “

“kosong”

“kosong”

“kosong”

“apa-apaan nih, kosong lagi”

“se.. setengah”

Dea mengalihkan pandangannya pada objek yang lain, ia melihat bertumpuk-tumpuk amplop coklat dan kertas-kertas.

Dea membaca sampul amplop secara sekilas

“Rumah Sakit Harapan” gumamnya

Dea membaca tanggal pengiriman, kaget. Tanggalnya sudah lama berlalu. Dengan sedikit gemetar, ia mengeluarkan isi amplop tersebut.

“Apaan nih? Hasil rontgen ya? Ini gambar apaan sih? Jantung ya?” gumam Dea sembari bertanya-tanya. Dea membaca tulisan pada keterangan dibawahnya.

“Agni, lo kok nggak cerita sih, jahat” gumamnya.

Dea langsung mengembalikan itu semua ketika mendengar suara langkah kaki mendekatinya. Menutup pintu lemari itu secara hati-hati. Dengan bantuan backsound lagu yang selalu menyala di kamar Agni, bunyi lemari ditutup-pun tidak terdengar.

“hehe, sorry lama De, tadi gue buka tutup botol jus ini dulu nih, susah. Jadi minta Kak Gabriel bukain deh, eh tau nya dia lagi tidur” Agni menaruh nampan itu di lantai yang dilapisi karpet.

“Nih ambil De, biasa juga belum ditaruh disini udah diambil duluan” tawar Agni

“Dea? Kenapa sih? Ada masalah? Cerita aja lagi, siapa tau gue bisa bantu “

“Lo yang nggak pernah cerita sama gue Ag”

“Maksud lo?”

“Halah, jangan belaga bego deh”

“Apaan?”

“Lo sakit?”

“Enggak, lo bisa liat kan gue sehat-sehat aja”

“Nih liat ya” Dea berjalan ke arah lemari Agni dan memencet beberapa tombol untuk membukanya.

Agni menatap Dea bingung dan segera mencegah Dea membuka lemarinya itu.

“Apa? Mau nyegah gue? Gue udah tau Ag, gue tau”

Diiiiiiit

Pintu lemari itu terbuka. Baru saja akan Agni tutup, sudah dicegah Dea.

“Apa? Gue tau Ag, tapi yang nggak gue ngerti, jantung lo kenapa? Kenapa hasil
rontgen-nya buruk begini sih?”

Agni diam, menarik nafasnya. “Lo mau tau?”
“Nggak ! ya mau tau lah ! jantung lo kenapa emangnya?” tanya Dea

“Tenang dulu De. Sini, duduk dulu”

“Oke”

Diam sesaat, membuat Dea risih, “Cepet cerita”

“Dokter gue waktu kecil, bilang jantung gue nggak akan kuat lebih dari 20 tahun”

Dea diam. Tapi Agni tau, Dea sedang menanti kelanjutannya

“Nyokap nggak izinin gue buat ikut ekskul olahraga, tapi gue minta negosiasi, karena
gue udah terlanjur suka sama basket. Nyokap tetep kekeh sama keputusannya, trus gue bilang aja, gue mau manfaatin hidup gue seenggaknya sampe umur 20 tahun untuk basket. Denger gitu, nyokap nyerah, dia izinin gue buat main basket sampe sekarang”
Agni diam lagi. Bingung harus melanjutkan ke arah mana.

“Oya, yang waktu itu lo tanyain, gue tau kok itu buat gue”

“Tapi waktu itu gue masih ngira-ngira Ag, gue kan nggak tau macem apa obatnya. Bisa aja cuma obat batuk pilek”

“Haha, gue harap begitu”

“Trus jantung lo kenapa? Lo sakit apa?”

“Jantung gue lemah De, mungkin lo nggak pernah liat gue pas lagi kumat”

“Gue emang nggak liat, tapi Alvin liat”

“Alvin liat? Tau darimana? Kapan?”

“Yee, Alvin kan sepupu gue”

“Oiyaya, dia bilang apa?”

Dea menceritakan semua pembicaraannya dengan Alvin. Agni hanya tertawa saja mendengarnya.

“Oh, yang itu, udah lama kali” komentar Agni pada Dea

“Jadi?”’

“Apa?”

“Lo bakalan bilang nggak sama Alvin?”

“Pastilah, gue bakalan bilang”

“kapan?”

“Sebelum umur 20 tahun”

“Yang jelas Ag”

“Sebelum lulus SMA”

“Spesifiknya?”

“Sebelum gue pindah ke Australia”

“Pindah?”

“Iya, naik kelas 12 nanti, gue pindah ke Australia, Kak Gabriel kan mau kuliah
disana, yaudah gue sekalian lanjutin sekolah disana juga”

“Tapi itu berarti beberapa bulan lagi, soalnya kan kita sebulan lagi ujian kenaikan kelas”

“Iya, haha. Jangan kangen ya De, huhu”

“Trus? Spesifiknya lagi? Jangan bilang pas di bandara? Uuh, sinetron banget”

“Nggak lah, kita kan ada perpisahan khusus kelas 11 kan? Yaudah pas itu aja, inget,
gue cuma bilang suka, bukan nembak, apa-apaan banget kalo gue nembak kan? Hahaha, itung itung gue mati nggak bawa beban macam itu deh”

“sarap lo Ag, tapi tenang, gue dukung dan gue bantu”

“Nggak usah, gue mau semua pake usaha gue sendiri”

“Yaudah kalo itu mau lo”
***
Ujian kenaikan kelas telah dilaksanakan, pembagian rapor juga sudah lewat sehari yang lalu, tinggal menunggu perpisahan yang tinggal menghitung jam. Sekarang pukul 4 sore. Dea sudah stand by dirumah Agni sejak 6 hari lalu, menginap. Katanya, ia ingin menghabiskan seminggu penuh bersama Agni sebelum sahabatnya itu pindah ke Australia. Tinggal sehari lagi Agni di Indonesia.

“Cepet, lo sekarang mandi deh, gue udah mandi. Tinggal dandan dikit”

“Dandan? Ngapain?” tanya Agni kaget

“Heh, ini tuh acara formal, nggak lebay juga dandannya, yang tipis aja lah”

“Ih, gue ogah”

“Heh, udah sekarang cepetan mandi”

“Iya iya”
***
“Diem ! Kalo lo nggak diem, bakalan berantakan tau nggak”

“Ih, apaan sih De, pokoknya gue nggak mau di dandanin yang aneh –aneh”

“Nggak aneh kok, makanya, penampilan tuh dijaga dikit, dirawat dikit kek, lo manis
tau Ag kalo rapi”

Agni baru saja mau membuka mulut, sudah kena omel Dea lagi, “Diem, atau gue bikin muka lo kaya badut !”
***
“Kita nungguin siapa sih?” tanya Agni ketika disuruh menunggu sebentar oleh Dea

“My boyfriend doong “ jawab Dea dengar cengiran lebar

“Kapan jadian?”

“Halah spik lo, udah lama juga, haha”

“Iya haha, yah tapi ntar gue cengo nih liatin kalian berdua pacaran, ogah deh, udah gue naik angkot aja”

“Heh, malah naik angkot lagi, bisa ancur itu hasil karya gue !”

“Bis deh?” tawar Agni

“Nggak, apalagi bis”

“Taksi?”

“Nggak, gue udah membawa orang untuk menemanimu nak”

“Bahasa lo De, haha yaudah mana?”

“Dea !” panggil seseorang

“Hey, kamu udah dateng !”sapa Dea pada Rio yang melambaikan tangannya. “ Ayo Ag, kita berangkat” ajak Dea
***
Perpisahan akhir semester untuk kelas 11 yang naik kelas itu berlangsung seperti pesta, dengan pakaian formal. Mengharuskan mereka berpenampilan formal tentu.

“Jangan cemberut gitu dong Ag, udah gue bawain Alvin juga” bisik Dea jahil, tangannya masih digandeng Rio.

“Dea, kesana yuk, makan” ajak Rio

“Gue duluan ya yo,de, mau ke temen-temen” ujar Alvin seraya pergi

“Yah kan, dia pergi, samperin sana” bisik Dea lagi

“Nggak, gue juga gabung sama yang lain deh” Agni langsung ngeloyor pergi gitu aja
dan berbaur bersama yang lain, tak lupa agak sedikit tertatih karena belum biasa
memakai high heels.

Dea hanya bisa menatap sahabatnya itu pasrah. “Waktu lo Ag..” gumamnya

“Apa?” tanya Rio

“Nggak, yuk makan”
***
Agni menaiki sebuah tangga menuju puncak gedung. Agni merupakan panitia perpisahan, jadi sebelumnya ia sudah mengetahui betul letak puncak gedung itu.

Agni duduk di sebuah palang besi dan melepas high heel-nya.

“Ribet banget ih” gumamnya

Melihat bintang, itulah yang Agni lakukan. Agni menengok ke sekelilingnya, memicingkan matanya ketika melihat ada punggung yang berjalan. Agni menghampiri orang itu.

Alvin-orang itu, menengok. “Eh elo”

“Hey”
“Ngapain disini?”

“Cari udara malem”

“Kok? Angin malem kan bikin masuk angin”

“Haha, biarlah. Gue mau nikmatin malem terakhir gue disini”

Alvin menyender pada dinding sambil memasukkan tangannya pada saku celana.

“Lo mau kemana emangnya?”

“Mau ke Australia”

“Ngapain?”

“Sekolah”

“Ngikut Kak Gabriel ya?”

“Iya, kok tau?”

“Gue satu ekskul sama dia”

“Oiyaya, lupa gue”

“Serius pindah?”

“Iya, emang kenapa?”

“Nggakpapa”

“Nggak siap kehilangan gue ya?”

“Biasa aja”

“Kirain, padahal gue ngarep loh”

“Ngarep?”

“Iya”

“Kenapa?”

“Nggakpapa, padahal gue loh yang nggak siap ninggalin lo, masih belom rela”

“Dih, masa gitu”

“Iyalah, eh udah lama ya kita nggak ngobrol begini”

“Habis pisah kelas sih”

“Gue maunya sih sekelas lagi sama lo”

“Bilang noh sama yang ngatur kelas”

“Haha iya, habis lo sok cuek sih kalo ketemu gue, buang muka lah, nggak senyum
bahkan”

“Haha, emang iya ya? Gue nggak sadar”

“Haha iya, eh gimana lo sama Shilla?”

“Shilla?”

“Iya, lo suka sama dia kan?”

“Siapa bilang?”

“Gue”

“Jangan asal makanya kalo nggak tau”

“Terserah gue lah”

“Iyadah apa kata lo”

“Iyee”

“Bentar, kok lo ngarep gue kangen sama lo?”

“Wajar lah, gue kan suka sama lo”

“Serius?”

“Iya, salah ya? Kalo mau salahin, salahin hati gue noh, kenapa gue bisa suka sama lo”

“Nggak salah lagi, bukan mau kita juga kan”

“Iya, eh gue nggak nembak lo loh”

“Iya gue tau, cewek macem lo mah nggak bisa gitu”

“Sip, untung lo pengertian”

“Hm, lo nggak cocok pake baju beginian”

“Iya ya? Tuh kan, gue udah bilang sama Dea gue nggak mau pake baju beginian”

“Tapi jadi lebih manis”

“Gombaaaal, siapa lu?”

“Alvin, hahahaha. Serius deh, eh harusnya lo bersyukur dipuji sama orang yang lo
suka”

“Iya deh, makasih ya”

“Pake dong sepatunya”

“Nggak ah, sakit kaki gue”

“Ye, nggak pake sepatu juga sakit, mana kotor lagi”

“Bodo”

“Yaudah nih pake sepatu gue”

“Boleh?”

“Boleh”

“Ih asik, makasih ya”

“Iya, sekalian kenang-kenangan dari gue”

“Oh, buat gue nih? Makasih ya”

“Iya”

Agni terkesiap. Tangannya mendadak kaku, dadanya sakit lagi.

“Kenapa?” tanya Alvin

“Nggakpapa”

“Kayaknya lo masuk angin”

“Sok tau lo”

“Yaudah, balik lagi yuk ke Dea-Rio, minta pulang”

Agni tersenyum, kali ini dibalas senyum oleh Alvin.
***
Rumah Agni pagi itu agak sendu, dengan koper-koper yang telah dikemas, Agni pamit kepada teman-temannya.

“Yakin Ag, lo sendiri aja?” tanya Rio

“Iya, yaelah emang kenapa sih yo?”

“Nggakpapa, lo cewek gitu, keluar negeri sendirian”

“No problem yo, Agni kan pemberani” hibur Dea

“Ini sahabat gue sejak kecil De, kalo boleh sih gue temenin” ujar Rio

“Beeh, enak banget lo” ejek Dea

“Haha, udah-udah, ntar ketinggalan pesawat kan nggak lucu, gue pergi dulu ya” lerai
Agni sambil mengambil tas selempangnya dan masuk ke mobil.

“Iya, bye Ag. Hati-hati dijalan, sering contact gue yaa” Dea memeluk Agni erat, “jangan lupa jaga jantung lo” bisiknya. Agni mengangguk.

“Hati-hati ya Ag” ujar Rio . “Nggak mau peluk nih?” lanjutnya

“Dih? Emang boleh sama Dea?” tanya Agni

“Boleh kok, peluk aja, sahabat sendiri ini” kata Dea sembari tersenyum

“Huaaaaa, Rio. Jaga Dea ya, awas loh jangan bikin Dea nangis” ucap Agni dalam peluk Rio

“Iya, tenang aja Ag. Jaga diri ya disana”

“Iya, udah ya, byee” Agni masuk ke mobilnya dan pergi.

***
Di jalan, Agni merasa ada sesuatu yang harus dilakukan. Segera ia mengeluarkan hpnya. Dan mengetik sebuah pesan singkat.

To : Alvin
Keluar rumah lo, sekarang.


Agni menghembuskan nafasnya. Terakhir kali barangkali untuknya bertemu dengan Alvin.
Merasa ada getaran dari saku bajunya, Agni mengambil hpnya.

From : Alvin
Iya, gue udah di depan rumah


Agni keluar dari mobil.

“Hey” sapa Alvin

“Hai”

“Udah mau berangkat ya?”

“Iya”

Agni merasa badannya ditarik. Agni memejamkan matanya, ia tidak ingin berharap. Agni tidak mau berandai dan berharap pada Alvin.

Namun dengan perlahan, Agni membuka matanya. Senyum terkembang di wajahnya.

Ternyata, tanpa berharap pun sudah terjadi. Saat ini ia dalam dekap erat Alvin.
Hangat, tak ingin rasanya ia melepaskannya.

“Haha, gue punya lirik yang tepat Vin”

“Apa?”

“Dan izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja, tuk ucapkan slamat tinggal untuk slamanya, dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja”

“Lagu ungu ya? Cinta dalam hati?”

“Iya, tapi gue udah nggak dalam hati lagi. Lo kan udah tau”

“Iya ya, haha”

“Vin?”

“Ya?”

“Lepas, sesek nafas nih gue . lo meluknya kekencengan”

Alvin melepaskan pelukannya. Menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, “Hehe, maaf. Gue refleks”

“Iya gue tau, nggakpapa kok. Barangkali untuk yang terakhir kali”

Alvin tersenyum, dan sekali lagi memeluk Agni erat. Terakhir kali.
***
Dua tahun kemudian…

Alvin merasa bulu kuduknya sedikit merinding ketika mobilnya melewati pemakaman umum terbesar di Sydney, Australia. Kini, setelah dua tahun yang lalu lulus SMA, Alvin kuliah di Australia. Ingin menemui pujaannya disana. Dan segera menyatakan cintanya pada gadis hitam manis itu. Agni.

Dalam mobil, Alvin terus membaca buku novel, dengan tawa yang tidak henti-hentinya reda, Alvin terus membaca.

Orang yang jatuh cinta diam-diam tahu dengan detail semua informasi orang yang dia taksir, walaupun mereka belum pernah ketemu

“Gue sih ketemu tiap saat sama dia, Cuma udah dua tahun ini gue udah nggak pernah liat dia lagi, udah hilang contact lagi. Dea sama Rio juga udah ilang contact sama Agni. Hem, dimana sih lo , Ag?” gumamnya

Orang yang jatuh cinta diam-diam memenuhi catatannya dengan perasaan hati yang tak tersampaikan

“Untungnya gue nggak, gue lebih suka norehin di otak gue”

Orang yang jatuh cinta diam-diam…

Alvin menghentikan bacaannya tiba-tiba

“Sebentar, itu gue kayak kenal. Kak Gabriel kan?” gumamnya

“Stop, Sir” ucapnya pada sopirnya

“Iya Den Alvin” jawabnya

“Eiya lupa kalo bapak yang nyetir”

Alvin keluar dari mobilnya, ke toko bunga, menghampiri orang yang ia duga adalah
Gabriel, kakak Agni.

“Iya itu kak Gabriel, ngapain beli bunga? Ah paling buat ceweknya” gumam Alvin

“Kak,..” panggilnya

Gabriel menoleh, matanya terbelalak, “Alvin bukan?”

“Iya ini gue kak, udah lama nggak ketemu”

“Iya ya”

“Beli bunga kak?”

“Iya nih buat Agni”

“Oh, gimana kabar Agni?”

“Udah tenang dia, baik-baik aja”

“Oh, lo mau ketemu Agni kak?”

“Iya, mau ikut?”

“Iya, hehe”

“Yuk, lo nggak ikutan beli bunga?”

“Hmm, iya deh”

***

Mata Alvin serasa diguyur air mendidih. Hatinya berasa gempa bumi, badannya serasa
dilolosi tulang. Ingin rasanya menjatuhkan diri. Namun ia harus kuat.

“Ka..kapan kak?” tanya Alvin

“Kurang dari setahun setelah pindah kesini”

“kok bisa? Kenapa?”

“Jantungnya nggak kuat”

“Kok lo nggak ngasih tau gue kak?”

“Sorry, dia emang nggak mau ada orang yang tau”

“Trus? Dia kan sekarang udah tenang disini”

“Gue hilang kontak sama lo pada”

“Dia.. sakit jantung?”

“Iya, jantungnya lemah”

“Nggak diusahain lagi?”

“Umurnya diprediksi nggak lebih dari 20 tahun, eh malah beneran berkurang 2 tahun”

“Gimana ceritanya?”

“Gue nggak kuat ceritanya Vin”

“Gue juga nggak sanggup dengernya , kak. Ayolah cerita”

Siang itu, dua lelaki dewasa, menangis karena gadis itu. Gabriel menceritakannya
dengan pedih, nafas sesak, sesegukan. Alvin juga, jarang ia menangis. Namun karena hal ini, ia tak bisa untuk tak menangis.
***
Di mobil, dengan mata yang merah, sembab, hidung yang merah, masih sesegukan pula. Alvin kembali melanjutkan membaca novelnya.

Orang yang jatuh cinta diam-diam harus bisa melanjutkan hidupnya dalam keheningan

“Gue nggak bisa, susah rasanya buat ngelepasin itu semua. Mana gue belum sempet
ngasih tau perasaan gue ke Agni” gumamnya.

Air mata kembali mengalir di pipi putihnya. Dibiarkannya mengalir. Alvin benar-benar melepaskan tangisnya di mobil siang itu. Otaknya memutar kenangan-kenangannya bersama Agni. Badannya benar-benar lemas. Ia pun tertidur. Berharap dalam mimpinya bertemu Agni.
***
Dea menyambut kepulangan Alvin dari Australia dengan gembira.

“bang Alvin ! aaa gue kangen bang ! Rio, ini ada Alvin “ seru Dea bahagia

“Hey bro” ucap Alvin

“Hoy, gimana ausi? Asik?” tanya Rio

“Asik lah”

“Gimana? Ketemu Agni nggak?” tanya Dea bersemangat

“Mendingan kita duduk dulu deh” saran Alvin

Ruang musik dirumah Dea sore itu begitu sepi. Hanya ada mereka bertiga dan beberapa pembantu dirumah Dea. Orang rumah lainnya sedang pergi.

“Siap nggak dengernya?” tanya Alvin

“Emang kenapa sih?” tanya Rio

“Udah cerita aja” buru Dea penasaran

“Jadi gini, kalian tau kan? Agni suka banget sama basket?”

“Tau, udah lo cerita aja, nggak usah pake nanya”

“Iya iya. Agni pindah ke Australia ternyata sekalian untuk berobat. Karena
jantungnya udah parah banget. Agni sakit. Lemah jantung. Waktu dia kecil, umurnya diprediksi sama dokter nggak lebih dari 20 tahun. Agni nyembunyiin ini semua dari kita. Karena dia nggak mau dikasihanin sama kita. Di Australia, dia masuk sekolah umum. Ikut klub basket dan langsung terpilih jadi tim inti. Dan ada lomba. Latihannya 5 bulan berturut-turut. 3 bulan menjelang lomba, latihan basketnya makin diperketat. Jantungnya nggak kuat, tapi Agni nggak bilang, dia takut nggak diizinin. Dia cerita itu semua cuma sama Kak Gabriel, dan dia nyuruh Kak Gabriel buat tutup mulut. Setelah lomba selesai, saat di jalan tiba-tiba dia pingsan. Untungnya dia bareng sama Kak Gabriel, dibawalah dia ke rumah sakit. Sampai sana keaadaan jantungnya udah bener-bener lemah. Orang tuanya juga udah pasrah, tapi Kak Gabriel enggak mau pasrah gitu aja. Agni nggak sempet sadar, tapi udah bebas dari koma”

“Ag..agni meninggal, Vin?” kata Dea ditengah sesegukannya. Kekhawatirannya selama
ini terjadi, dan ia tidak rela sama sekali.

Alvin melihat Rio. Rio diam. Tidak bergerak. Tatapan matanya kosong, namun dari mata indah itu mengalir cairan bening.

Alvin menepuk pundak Dea pelan. Berusaha menabahkan hatinya, Alvinpun juga menahan air matanya supaya tidak mengalir.

“Liburan ini gue mau ke Ausi, nggak mau tau” tekad Dea , ia ingin segera menemui Agni. Walau hanya dengan bentuk tanah serta nisan. Diikuti dengan anggukan dari Rio.

“Agni pasti seneng kalo sahabatnya dateng, gue bisa rasain” ujar Alvin sambil mengusap air matanya yang hampir jatuh.

“Sok tau” ejek Dea dan Rio bersamaan.

Alvin tersenyum, namun matanya masih mengeluarkan air mata. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, foto Agni dan Dea yang terpampang jelas disana, dengan senyumnya, seakan mengiyakan ucapan Alvin.

“Lo tau nggak Vin? Agni suka sama lo dari kapan?” tanya Dea

“Nggak”

“Kelas satu SMP, pas pertama kali ketemu”

“Iya? Kok samaan?”

“Maksudnya?”

“Gue juga suka sama Agni pas kelas satu SMP”

“Kenapa nggak nembaaak?”

“Gue kira dia nggak bisa suka sama orang”

“yee, pikiran lo berdua sama aja ya”

Alvin tersenyum. Sebenarnya ia tau semua itu, dari Gabriel.
***
Sepulang dari rumah Dea, Alvin pulang ke rumahnya yang di Indonesia.

Ia kembali melanjutkan membaca novel.


Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu, yang tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh.

“Ini kali ya yang dirasain Agni, nungguin gue tanpa kepastian yang pasti. Cuma gue gantungin gitu aja. Nyesel nggak bilang ke Agni gue..”


Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya menerima

“yaaah, gue emang harus menerima kepergian dia, haruslah”


Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang kita inginkan

“Iyaaaa, beda banget . kenapa sad ending gini sih cerita cinta gue?”


Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita sesungguhnya butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanya merelakan.

“Gue belum terlalu bisa rela-in lo Ag”

Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian. (Marmut Merah Jambu – Raditya Dika)

“Agni, maaf banget. Sekarang gue kan yang jatuh cinta sendirian. Sekarang gue ngerasain gimana jadi lo, tapi gue udah tau, perasaan kita sama…”
Alvin menutup bukunya, mengusap air matanya lagi. Menghembuskan nafasnya, mulai mencoba merelakan Agni. Alvin mengambil iPod-nya. Memilih lagu. Pada di urutan lagu ber-abjad “C” , pilihannya terjatuh pada lagu yang pernah diberikan Agni padanya.

Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa dicintai
Tak mengapa bagiku
Asal kau pun bahagia dalam hidupmu
Dalam hidupmu
Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku
Mencintaimu pun adalah bahagia untukku
Bahagia untukku
Kuingin kau tau diriku disini menanti dirmu
Meski kutunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi utnuk selamanya
Dan izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
Tuk ucapkan slamat tinggal untuk slamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja


Alvin merebahkan tubuhnya, menutup matanya. Sekali lagi, berharap Agni akan datang di mimpinya. Nggak salah kan kalau hanya berharap?
***
Jangan salah
Kadang keputusan kita itu banyak mengambil resiko
Seperti mengambil keputusan dalam menyatakan sesuatu
Cinta misalnya
Manfaatkan waktu selagi masih ada nafas
Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama
Sesal pasti selalu datang terakhir
Sudah mutlak dan takdirnya seperti itu
Setiap orang butuh kepastian, ingat itu
Hanya menyatakan tidak perlu meminta
Dia pasti akan senang mendengarnya
Biarkan air matamu mengalir
Setidaknya kesedihan kita perlahan pergi

Komentar

Postingan Populer