The Best Brother All The Time

The best brother all the time…

Kakak…
Cukup kuat kah kau?
Cukup tangguh kah kau?
Sanggupkah kau menahannya?
Ceritakan semuanya padaku
Aku mau jadi pendengarmu
Aku akan menyisihkan waktuku untukmu
Apakah kau mengerti?
Perasaanku yang begitu sakit
Sakit sekali ketika mendengar semuanya
Tegakah engkau?
Aku yang selama ini orang yang paling dekat denganmu
Tegakah engkau membuatku bisu saat ditanya mereka ada apa sebenarnya?
Tegakah kau membuatku menyesal?
Tegakah kau membuatku menangis?
Katamu aku tak boleh meneteskan air mata..
Kau tersenyum jika aku bahagia
Kau ikut sedih dan menghiburku di kala aku sedih
Namun mengapa kau melarangku bertanya jika aku mendapatimu sedang menangis?
Apakah kau mau terlihat kuat?
Kalau ya, boleh kau perlihatkan di depan mereka
Tapi jangan di depanku
Kau sosok manusia yang amat ku sayangi
Kau sosok panutanku
Kau sosok pelindungku
Ini yang dapat aku sampaikan
Yang paling dalam dari lubuk hatiku
Aku sayang padamu kak, hingga akhir waktuku


***

“Woi minta tissue dong Ca” Vano menghampiri Caca yang tengah asyik main game, The House of the Dead.
“Buat apaan sih?” Caca mengalihkan pandangannya pada Vano tanpa mem-pause gamenya
Belum sempat Vano menjawab, Caca sudah keburu teriak. “Aaaaa, elu sih Van ! Liat nih ! Nyawa gue kan tinggal satu, ah kan ! Jadi mati ini !!!!” teriak Caca.
“Ah lama lu Ca, cepetan punya tissue nggak?” tanya Vano panik.
“Iya iya bentar. Nih” Caca memberikan satu pak tissue kecil yang masih utuh
“Thanks” Vano langsung pergi ke tempat duduknya dan memberikannya pada teman sebangkunya yang sedang menunduk.
“Ada apa Ca?” tanya Tiara yang baru datang dari kantin, membawa makanan yang sebelumnya dititipkan Caca karena Caca sedang bersemangat menamatkan game yang baru ia dapat dari Andri.
“Tau tuh si Vano, masa tiba-tiba dia minta tissue”
Tiara ngakak, Caca cemberut.
“Ngapa lo Ca, tampang udah jelek gitu pake ditekuk segala” Aldo mencubit pipi Caca gemas.
“Muna lo Al, Caca pacar lo juga” Tiara menengahi
“Hahaha, iya cantiiik. Kalo nggak cantik, nggak mungkin Aldo mau sama Caca”
“Haa, lo Al ! Ngganggu waktu gue sama Caca aja. Lo kan bisa berduaan sama Caca…”
“Berduaan apa ! Orang berduanya cuma pas berangkat sama pulang sekolah doang ! Nggak dibayar pula, mana si Gabriel ngekor mulu sama Vania kalo kita jalan”
“Oh, jadi mau dibayar nih?” Caca ikut menimpali
“Ya dibayar dong, dibayarnya dengan cinta. Asiiiik” Aldo ngakak sendiri dengan ucapannya barusan.
“Najis lu Al, sok romantis lu, pas nembak Caca aja kayak ngajak main !” bentak Tiara
Aldo dan Tiara asik adu bacot, Caca menoleh ke arah Vano yang tadi meminta tissue miliknya.
‘Ngapain ya tadi Vano?’ dilihatnya Vano yang tengah menatap Gabriel dengan sorot cemas
“Ngapain Vano ngeliatin kakak gue?” gumam Caca pelan.
***
Ya, Gabriel adalah kakak kandung Caca. Mengapa bisa sekelas? Gabriel hanya beda 10 bulan dari Caca. Akhirnya mereka disekolahkan di sekolah yang sama dan kebetulan sekelas.
Pertamanya, Caca tidak tahu banyak tentang Gabriel, jelas. Itu semua dikarenakan Gabriel dulunya di sekolahkan di Amerika. Caca hanya tau fotonya dari mamanya yang rutin menghubungi Gabriel yang tinggal dirumah sepupunya yang ada disana. Gabriel pulang ke Indonesia juga baru sekali. Itupun hanya satu bulan. Lambat laun, Caca mulai mengenal Gabriel lebih jauh setelah ia dan Gabriel tinggal bersama, jelas saja, mereka kan satu keluarga. Namun mereka berdua sering ditinggal berdua oleh orangtua mereka yang sibuk satu sama lain. Yang satu sibuk karena pekerjaanya, yang satu lagi sibuk mendampingi pasangannya ke setiap tempat yang dikunjungi pasangannya.
Gabriel sendiri kembali ke Indonesia saat ia lulus dari JHSnya di Amerika. Entah apa yang ia fikirkan. Kalau Caca sendiri berada di posisi Gabriel sekarang, ia akan meneruskan studinya di Amerika. Dan mereka saat ini tengah menanti ujian kelulusan mereka dari SMA.
Namun Caca akrab dengan Gabriel yang pembawaannya ramah tapi misterius dan terkesan cuek. Gabriel juga sering menjadi pendengar yang baik jika Caca sedang ada masalah, apapun itu. Namun jika Caca meminta Gabriel untuk cerita, Gabriel seakan mengganti topik. Caca sendiri tidak ambil pusing, ia juga tidak mau terlalu ikut campur urusan orang meskipun itu kakak kandungnya sendiri.
Aldo sendiri pertama kali melihat Gabriel sedikit jealous juga. Aldo dan Caca membina hubungan mereka dari kelas 3 SMP dan sampai saat ini telah terjalin dengan baik dengan bumbu pertengkaran dan salah paham kecil di dalamnya. Waktu itu, Aldo tengah menunggu Caca di stasiun. Rencananya mereka akan jalan-jalan ke tempat wisata berdua.
Aldo membuang pandangannya karena bosan melihat kereta yang silih berganti lewat di hadapannya. Tepat pada arah mata Aldo melihat, ada sosok perempuan yang begitu dikenalnya dengan baik sedang tertawa lepas kemudian laki-laki yang ada disampingnya mengejarnya dengan sorot gemas. Entah apa yang dilakukan mereka.
Aldo menatap laki-laki tadi dengan tatapan jealous. Aldo segera menghampiri Caca.
“Eh Aldo” ucap Caca begitu menyadari kehadiran Aldo
“Caca, siniin nggak” ujar laki-laki itu sambil merebut bingkisan kecil yang Caca genggam sedari tadi
Caca menoleh lagi ke arah laki-laki itu sambil menyembunyikan bingkisan itu dibalik tubuhnya sambil tersenyum jahil.
“Nggak, tunggu sampe Vania dateng” ujar Caca kembali
‘Vania? Mirip nama sepupu gue’ batin Aldo
“Ah elo Ca, ntar bingkisannya rusak” ujar laki-laki itu kembali
Merasa kesal, Aldo menarik Caca kasar.
“Au, apa sih Al kok tarik-tarik? Sakit tau” kata Caca sembari mengusap lengannya yang tadi ditarik Aldo secara kasar.
“Dia siapa?” tanya Aldo dengan tatapan marah
“Dia siapa? Siapa apanya?” Caca balik bertanya
“Dia” Aldo menunjuk laki-laki yang tadi datang bersama Caca dengan sorot mata yang orang sekali lihat dapat diketahui bahwa Aldo, cemburu.
“Oh, emang kenapa?”
“kamu kok balik nanya terus sih?”
“Lah, kamu kenapa sih Al? Kok tau-tau marah sama aku? Ngomongnya jutek gitu segala pake narik tangan aku lagi !” Caca agak sebal juga atas perlakuan Aldo.
“Ca.. siniin dong bingkisannya, keburu dia dateng” laki-laki itu terus mencari celah Caca yang terus menggenggam kuat bingkisan itu.
“Bentar dulu yel…” Caca menimpali
Aldo bingung sendiri. “yel ? Dia siapa sih?” tanya Aldo lagi
“Maksud kamu dia?” tanya Caca balik sambil menunjuk laki-laki tadi yang telah berhasil kembali merebut bingkisan miliknya.
“Iya” jawab Aldo ketus
“kamu cemburu Al?” Tanya Caca dengan tawa gelinya
“Yel, perkenalin diri lo deh” sambung Caca sambil menoleh ke arah laki-laki tadi.
“Ke siapa?” tanya laki-laki itu.
“Ah, ribet ya. Aldo , ini kakak aku, namanya Gabriel, panggil aja Iel” Acha meraih tangan Gabriel a.k.a laki-laki tadi dan Aldo secara bersamaan.
“Oh? Jadi ini yang kamu ceritain waktu itu Ca? Gabriel yang kakak kamu dari Amerika itu?” raut muka Aldo berubah begitu Caca menyebutkan nama laki-laki itu dan langsung menyalami tangan Gabriel secara ramah.
“Hai Kak, nama gue Aldo, pacarnya Caca”
“Nggak usah panggil Kak kali, panggil gue Iel aja”
“Nah, kan? Kamu nggak usah jealous sama Iel” Caca tertawa kecil
“Hm, jadi kan Ca jalan-jalannya?” tanya Aldo
“Jadi, tapi tunggu seseorang dulu ya..” Iel ikut menimpali
“Siapa?” tanya Aldo
“Gabriel, maaf ya aku telat” ucap seorang perempuan yang tengah berlari kecil ke arah Gabriel.
“Nah, ini Vania, Al” Gabriel memperkenalkan.
“Nih gini ya biar nggak salah paham. Iel itu kakak aku yang baru datang dari Amerika tiga hari yang lalu, tepat pas kita mulai libur sekolah. Dan cewek cantik disebelahnya, pacar Iel nih. Tau dah pas kapan kenalnya. Hahaha” jelas Caca panjang lebar.
“Emang ada apa sih Ca?” tanya Vania, masih nggak sadar dengan keberadaan Aldo.
“Nggak usah dikenalin Ca” kata Aldo sambil menahan tawanya
“Loh? Kenapa? Kan biar kamu nggak jealous lagi, Al..” ujar Caca heran
“Vania sepupu aku” ucap Aldo
“Sepupu kamu?” tanya Caca balik
“Iya, dia juga sekolah di Amerika” jelas Aldo
“Oh, ini Aldo? Aku lupa sama wajah kamu Al, waktu terakhir kita ketemu, kamu belum sebesar ini, masih tinggian aku, hehe” kata Vania sedikit terkejut
“Dan kemaren pas aku bilang aku ke di ajak mama aku jalan, ternyata aku di ajak ke bandara buat jemput Vania” lanjut Aldo
“Oh, dunia ini sempit ya, emm, jangan jangan kalian kenalnya di Amerika ya dan dan kalian satu sekolah?” tebak Caca
“100 persen Ca” ujar Gabriel
Caca tersenyum senang, yey tebakannya benar
“100 persen salah” lanjutnya
“Hahahaha, Caca.. Caca.. nggak harus kenal di Amerika kan?” kata Gabriel santai
“Hm, tapi yang satu sekolahnya itu bener kok, tapi nggak satu kelas , Ca” sahut Vania lembut, benar benar anggun dan benar benar pantas pula dengan kodratnya sebagai perempuan. Tapi anggunnya anggun konyol. Lucu deh tampangnya.
Caca tersenyum dan menjawil tangan ceking Gabriel gemas,”tuh dengerin kak, jadi orang tuh yang lembut kayak Vania”
“Au ah, ayo jalan” sahut Gabriel sambil mengelus tangannya yang tadi dicubit gemas oleh Acha.
Acha menerawang ke atas, kejadian itu sudah lama berlalu, tapi masih berbekas di ingatannya. Selamanya.
***
“Yaudah, gue cabut duluan ya, sob. Gue mau nganter Lisa pulang” pamit Vano sepulang sekolah.
“Iya, yaudah sono. Gue juga nganter Vania pulang” Gabriel membenahi tissue-tissue yang berserakan di kolong mejanya, dan membuangnya ke tong sampah.
***
“Thanks ya, Al” ucap Caca
“Sama sama”
“Mau masuk dulu nggak?”
“Hmm, nggak deh. Aku pulang duluan ya”
“Eh, Al”
“Apa?”
“Nggakpapa, hati-hati ya” ucap Caca seraya mencium tangan Aldo. Tanda hormat perempuan pada pasangannya.
“Ekhem” seseorang berdekham keras dan terkesan pura-pura.
“Pacarannya nanti ya, habis UN” lanjutnya sambil memisahkan keduannya
“Ya’elah yel, gini doang sih” sahut Aldo
“Udah sana pulang” usir Gabriel
“Ah elu yel, jahat amat” hardik Aldo sambil menstarter motornya
“Cacanya mau belajar dulu. Yuk , Ca” Gabriel menarik Caca pelan
“Hahaha, masuk dulu ya, Al, dah..” Caca melambai-lambaikan tangannya sambil sesekali mencubit perut dan tangan Gabriel dengan gemas.
***
“Mau kemana yel?” tanya Caca bingung
“Emm, jalan-jalan bentar”
“Ikut dong”
“Jangan !”
Caca bingung. ‘gabriel kenapa sih?’ batinnya
“Hm, urusan cowok soalnya” alasan Gabriel
“Oh, yaudah” ucap Caca sambil lalu
“Mau ngapain?”
Caca menoleh, “Urusan cewek !”
Gabriel melengos dan pergi.
***
Hening suasana ruangan itu. Menambah rasa tegang di hati laki-laki itu.
“Stadium kamu naik” ucap laki-laki itu. Cukup tampan untuk seorang dokter muda.
“Tuh kan bener, obat fungsinya cuma memperlama waktu saya aja dok”
“Itu semua karena kamu nggak mau kemo dan…”
“Bolos check-up” sambung Gabriel cepat
“Jaga kondisi kamu yel”
“Pasti dok”
“Kamu yakin nggak mau ngasih tau keluarga kamu?”
“Jangan dok, saya nggak mau”
“Hem, yasudahlah. Saya juga nggak bisa maksa. Ini resepnya, cepet tebus obatnya”
“Iya dok”
Gabriel meninggalkan ruangan itu dengan hati yang nggak karuan. ‘mungkin emang ini takdir gue, oh iya, dia …’ batin Gabriel lalu segera keluar rumah sakit itu dan mencari sinyal lebih untuk menelfon.
“Halo”
“Halo, kenapa yel?”
“Lo jadi nggak Vin ke Indonesia?”
“Jadi, tapi masih lama, mungkin pas lo mulai UN deh”
“Sip”
“Udah check-up belom?”
“Udah, tenang aja”
“Trus?”
“Trus apaan?”
“Makin baik apa makin…”
“Makin buruk”
“Maksudnya?”
“Stadium gue naik satu”
“Jadi…?”
“Iya”
“Stadium akhir?”
“Iya”
“Gue mesti cepet dateng”
“Bagus, ntar lo tidur di kamar gue aja”
“Nggak penting dimana, yang penting mah keadaan lo”
Gabriel tersenyum, “Thanks ya Vin”
“Sama-sama”
“Udah ya, pulsa gue tekor nih nelponin lo”
“Iya iya”
“Bye Vin”
“Bye”
***
2 bulan kemudian…
“Stress dasar” hardik Gabriel pada Aldo yang sedang belajar bersama di rumahnya.
“Yee, lo yang stress, mana ada rumus fisika macem begini?” sahut Aldo santai
“Eh, Al, rumus yang lo pake itu ajaib tau nggak? Rumus yang gue pake ini tuh yang biasa di pake”
“Yee, kalo gitu kita minta pendapat Caca” Aldo melirik ke Caca dan bergeser ke tempat Caca.
“Ca, rumus mana yang bener? Yang aku pake atau si iel ini?” tanya Aldo lembut sambil sesekali melirik ke arah Gabriel
“Yang iel pake yang bener” sahut Caca santai
Plak ! Sebuah timpukan pelan buku fisika yang lumayan tebal itu mendarat mulus di kepala Aldo. Gabriel nyengir.
“Kan, makanya nurut sama gue, makanya belajar lebih serius, jangan ngajak adek gue, si Caca, pacaran mulu, 2 minggu lagi kita UN tau” cibir Gabriel
Vania yang juga hadir disana hanya senyum senyum saja melihat kelakuan ajaib 2 anak manusia itu. Lalu ia menatap Caca, melihat tatapan Caca yang seakan berbicara “Plis dong diem, gue mau belajar !!!!”
***
Gabriel menatap obatnya. Tersisa 2 buah kapsul. Lalu mengambilnya satu dan menelannya bersama air.
“Kapsul terakhir gue kayanya…” gumam Gabriel pelan sambil menimang tempat obat itu.
“Iyel, pinjem pulpen dong” Caca membuka pintu kamar Gabriel tanpa mengetuknya
“Eh, ketuk pintu dulu dong, Ca” kata Gabriel setengah ketus
Caca menatap salah satu tangan Gabriel yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. “Itu apa?” ucapnya.
“Nggak, oh iya, lo mau minjem pulpen kan? Ini nih, udah sana balik ke alam lo” usir Gabriel sambil mendorong-dorong Caca keluar kamarnya.
Caca menatap pintu yang tertutup itu bingung.
“Gabriel tambah pucet nggak sih? Tambah kurus ya? Harus gue selidikin” gumam Caca sedikit khawatir
***
Esok malamnya. Caca menghampiri kamar Gabriel yang sedikit terbuka. Dan melihat ke dalamnya.
“Iyel..” panggil Caca halus
Gabriel terkesiap dan menghapus air matanya.
“Lo kenapa yel?”
“Nggak, nggakpapa. Kenapa ?”
“Gue tidur disini ya? Males dengerin alasan papa , sibuk mulu dia”
“Papa kan begitu buat kita Ca, biarin ajalah”
“Seenggaknya ada gitu waktunya buat kita”
“Ada kok”
“Bentar doang, nggak puas !”

Hening sebentar…

“Gue dongengin mau?” tawar Gabriel
Acha mengangguk, “Tapi gue maunya…”
“Apa?”
“Yel, ceritain dong pertemuan awal lo sama Vania..”
“Oke, jadi gini..”
-Flashback-
“Iyel ! Anterin dong adek kamu ke sekolah ! Jangan tidur terus !” bentak papa pagi itu.
“Iya iya”
Sesampainya di sekolah….
“Maaf ya yel” pinta Caca
“Nggakpapa, udah sana masuk ntar telat” Caca berlalu dan berlari kecil masuk ke kelas
“Misi…” seorang perempuan menepuk pundak Gabriel pelan
“Eh , iya” Gabriel kaget
“Eh maaf” ucap perempuan itu sambil menunduk
‘gila, manis banget’ batin Gabriel
“Numpang tanya, ini SMP Nusantara kan?” tanya nya
“Iya”
“Kelas 8.2 dimana ya?”
“Ada kok, deket lab kimia. Masuk aja”
“Aduh, saya nggak berani ke dalem, padahal mau nganterin surat”
“Surat?”
“Sepupu saya sakit”
“Kelas adik saya tuh, nitip sama dia aja. Saya panggilin ya”
Perempuan itu mengangguk. Lalu Gabriel menelfon Caca, “Ca ke gerbang sekarang”
“Emang kenapa yel?”
“Udah, cepetan”
“Iya” klik, telfon diputus
“Em, maaf, namanya siapa ya?” tanya perempuan itu lucu.
‘ha? Nggak biasanya ada yang ngajak kenalan duluan’ batin Gabriel
“Gabriel, panggil aja Iel. Kamu siapa ya?”
“Vania”
Detik itu juga, tanpa sadar Vania telah masuk dalam kotak hati Gabriel dan menguncinya rapat-rapat.
-Flasbackend-
“Keren kan pertemuan gue sama Vania?” tanya Gabriel bangga
“Aneh, bukan keren”
“hahaha. Tapi kan hebat, nggak taunya dia juga tinggal di Amerika. Mana satu sekolah pula, sayangnya nggak satu kelas”
***
‘fuuh, untung Gabriel belum pulang, gue bisa selidikin’ batin Caca.
“apaan nih? Obat? Obat apaan nih namanya aneh banget?” gumam Caca
“hm, gue catet aja dah, daripada lupa namanya, aneh sih”
“apa nih? Kok banyak tissue?”
“apaan nih? Tempat sampah isinya tissue ber bercak darah semua?”
“apa jangan-jangan? Gue tanya Vano aja dah” gumam Caca.
***
“Halo, Vano?”
“Iya, ngapa lu Ca? Tumben nelfon”
“Iel sering mimisan ya?”
“Iya, emang kenapa?”
“Nggakpapa. Dia kenapa sih?”
“Mana gue tau, kan lo berdua yang kakak-adik”
“Dia nggak pernah mau cerita”
“Hm, dia cuma bilang mungkin cuma kedinginan, itu sebabnya gue pake jaket terus gitu katanya”
“Oh, makasih ya, daaah”
Klik. Telfon diputus.
“Gue mesti nyari” Caca beranjak ke laptopnya dan membuka internet
Setelah men-search, ternyata…
“Asli gila ! itu obat kanker !” jerit Acha
Untung saja Gabriel belum pulang, alasannya sih ngajak jalan Vania.
“Gue harus tanya ke Gabriel !”
***
Malam itu Caca ke kamar Gabriel lagi.
Gabriel batuk, makin lama makin keras. Caca bingung dan segera masuk ke kamar Gabriel, ‘tuh kan dugaan gue bener !’
Gabriel membuka tangannya, ada darah disana.
“Ya ampun yel, bentar ya” Caca berlari ke laci meja Gabriel. Ada sapu tangan pemberiannya disana.
“Nih” Caca menyerahkannya
“Ma..kas..ih..y..ya”
“Lo kenapa sih yel?”
“Nggakpapa”
“Lo makin pucat yel, gue juga liat lo makin lemes akhir-akhir ini, makin kurus”
“Aah, paling cuma kecapean doang”
“Lo juga sering mimisan kan? Gue tanya sama Vano tadi..”
“Itu gue cuma…”
“Apa? cuma apa? Kedinginan hah? Gue nggak percaya, dan sebentar.." Caca beranjak ke lemari Gabriel.
Acha mengeluarkan botol kecil plastic tempat obat Gabriel bersemayam, “Ini apa? Setelah gue search di internet, ini obat kanker kan?”
Gabriel menunduk, “I..i.ya” jawabnya
“Lo sakit yel?”
“I..ya”
Caca membukan tutupnya, “Udah habis?”
“Iya, dari kemaren. Gue belom beli lagi”
Caca duduk, menghempaskan tubuh nya ke sofa. Gila ! selama ini Gabriel dengan mudahnya nyembunyiin semua ini darinya, dari Vania, dan dari papa-mama nya.
Gabriel terbatuk lagi, kali ini lebih parah. Dan pingsan.
“Lho ? Iel, lo, ih, aduh gimana nih, aduh, mana cuma berdua dirumah, ah, telfon Aldo !”
Jemari Caca lincah menari di hpnya, namun karena terlalu lincah, sering terpeleset saking paniknya.
“Halo”
“Al, cepetan ke rumah aku !”
“Ada apa? Udah malem tau, Ca”
“Bawa mobil ya, jangan motor”
“Ada apa sih?”
“Ah, em, Gabriel pingsan, tadi batuk darah, trus mimisan juga”
“Ha? Yaudah, aku ajak Nia ya”
“Terserah dah, boleh. Cepet ya”
Klik, telfon diputus
“Aduh yel, kok lo nggak pernah bilang sih?” gerutu Caca masih panic sambil membersihkan darah yang tadi keluar dari mulut dan hidung Gabriel.
Tin..tiin..
Caca segera keluar rumah.
“Cepet Al, dia mimisan sama batuk darah !”
***
Sepanjang jalan, Caca menceritakan semuanya, dari penyelidikannya, pencarian data di internet dan yang terakhir pengakuan Gabriel tadi sambil terisak. Vania apalagi. Dia tidak menyangka sama sekali, Gabriel membohonginya.
***
Aldo mondar-mandir di depan ICU.
Krriiittt…
Decitan suara pintu membuat mereka menatap pintu ICU itu lekat.
“Dia koma, padahal saya sudah bilang berkali-kali” ucap dokter.
Caca tersentak, “Bilang apa? Iel kenapa?”
Dokter itu, dokter yang menangani Gabriel dan yang selama ini ikut menyembunyikan penyakit Gabriel. Dia menceritakan semua. Semua tanpa terkecuali.
Vania makin terisak. Acha? Dia diam mematung.
“Dok, setiap check-up pasti ada hasilnya kan?” Tanya Aldo
“Ada”
“Apa dokter menyimpannya? Soalnya saat saya menggeledah isi kamarnya, saya tidak menemukan hasil lab satu pun” sahut Caca.
“Ada di dokumen saya, mari saya antar”
***
Caca menatap hasil lab itu dengan hati yang berdesir, dan takut akan kehilangan menerpanya.
“Oiya,Kevin” dokter itu tiba-tiba mengucapkan sebuah nama yang tidak asing di telinga Acha.
“Kevin?” tanya Caca bingung
“Dia orang yang tahu penyakit Gabriel selain saya dan dokternya di Amerika”
“Dokter punya nomernya?”
“Ini” dokter itu menyerahkan secarik kertas kecil berisikan angka angka yang berderet panjang.
“Makasih dok”
Caca keluar ruangan dan segera menelfon Kevin. Meminta kejelasan semuanya.
***
“Caca ya?” Caca menoleh, seseorang bermata sipit menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah dengan membawa tas koper besar.
“Iya, siapa ya?”
“Gue Kevin”
“Oh”
“Lo pulang dulu sana, gue jagain Iel”
“Yaudah, lagian gue udah seharian disini”
“Hati-hati ya”
Caca menoleh, “iya”
***
Kevin menatap sahabatnya itu nanar. Tiba-tiba jemarinya bergerak. Perlahan Gabriel membuka matanya.
“Eh, Kevin”
“Iya, gue”
“Em, tolong ambilin kertas dong sama pulpen”
“Mau ngapain? Keadaan lo belum stabil”
“Udah, cepetan”
“Iya, ini” Kevin meraih tasnya dan mengambil secarik kertas serta sebuah pulpen.
“Thanks. Bisa tolong tinggalin gue sebentar?”
“Yaudah”
Gabriel mulai menulis. Entah apa yang ditulisnya.
***
Kevin masuk kembali ke ruangan ICU itu. Terlihat Gabriel yang masih menggenggam surat itu kuat-kuat. Bibirnya pucat, begitu juga dengan bagian tubuhnya yang lain.
“Udah yel?”
“Udah, ntar kasih ini ke Caca ya kalo gue udah nggak ada...”
“Nggak, lo pasti sembuh”
“Cih, nggak mungkin. Nggak lama lagi pasti gue mati, Vin”
“Jangan gitu, yel”
“Nggak, gue tau itu”
“Terserahlah. Hm, gue panggil dokter dulu ya?”
“Nggak usah, gue tidur lagi ya? Pusing pala gue”
“Yaudah, tapi gue tetep panggil mereka ya? Buat ngecek keadaan lo”
“Iyadah, thanks ya Vin. Maafin gue ya, udah banyak ngerepotin lo”
“Kevin, iel udah siuman belum?” tanya Vania sambil membuka pintu ruangan ICU.
“Iel?” panggil Vania terharu
“Nia?” sahut Gabriel
“Kevin?” goda Kevin menambahi
“Udahan ah, gue mau ke dokter dulu, silahkan pacaran” goda kevin lagi
“Maaf” ucap Gabriel tertahan, entah kenapa, nafasnya makin tercekat, dadanya sesak.
“Iya”
“Maaf”
“Iya”
“Maaf”
“Iya”
“Ma..” Vania menutup mulut Gabriel dengan telunjuknya.
“Sampe kapan lo mesti minta maaf yel?”
“Maaf” ucap Gabriel sambil menitikkan air mata, sakit di tubuhnya makin menjadi jadi. Raut mukanya menunjukkan bahwa sakit itu diluar kadarnya. Sudah terlalu sakit.
“Ni..a, a..k..ku mi..n..nta… ma..a..af” makin sulit rasanya untuk Gabriel mengucapkan satu kata dengan lidahnya. Rasanya, satu kata keluar, seperti seribu sayatan tajam menggores jantungnya.
“Iya” Vania meraih tangan Gabriel dan menggenggamnya erat.
“a..a..kku.. ma..u t..tid..dd..dur y..ya”
“Iya” tangis Vania makin pecah
“Maaf” kata itu meluncur begitu saja dengan lancar seolah mengantarkan pada Gabriel untuk tidur nyenyak tanpa ada rasa sakit lagi.
Melihat itu, Vania pasrah.
“Makasih yel, makasih banget kamu udah ngisi kehidupan aku”
“Dokter, ini tadi Gabriel udah sadar” ucap Kevin seraya masuk ruangan ICU.
“Loh? Vania? Kenapa?” tanya Kevin bingung
Vania tidak menjawab, tetap menangis dan tetap menggenggam tangan Gabriel erat.
“Sebentar, Vania tolong permisi… ” Kevin mengangguk mengerti dan melepaskan genggaman Vania dengan Gabriel dan menuntunnya untuk duduk di sofa depan ruang ICU.
“Sabar, Nia” kevin merangkul Vania hangat.
Vania terus menangis.
“Hei? Vania kenapa nangis?” tanya Caca yang baru datang dengan tampang ceria.
“Maaf, dia sudah pergi” ucap dokter saat keluar dari ruangan ICU.
Tangis Vania tambah deras.
Caca bingung, “maksudnya?”
“G..ga..bri..el u..ud..dah tenang, d..dia ud..dah pergi” sahut Vania masih dengan isakkannya yang memilukan. Kalimatnya kadang tergagap, kadang lancar.
Caca limpung. Aldo yang baru datang langsung menangkap sambil terduduk jatuh bersama kekasihnya yang menahan isak tangisnya.
“Ada apa?” tanya Aldo kepada siapapun yang mau menjawab
“Gabriel udah nggak ada” Kevin menjelaskan, kevin juga meneteskan air mata. Jelas saja, Kevin adalah teman sekaligus saudara angkat Gabriel sejak Gabriel sekolah di Amerika.
Aldo tersentak. Kenangan bersama Gabriel terputar di otaknya dengan cepat. Gabriel, yang 3 tahun terakhir ini adalah teman bertengkarnya. Yang pertama kali bertemu menyebabkan dia cemburu karena salah paham. Sekarang…sudah pergi.
***
Pemakaman Gabriel berjalan lancar. Semua sudah pulang, tak terkecuali Caca, Kevin, Vania dan Aldo. Serta kedua orang tua Caca dan Gabriel. Papa-mama langsung berangkat lagi ke tempat kerja selanjutnya yang tidak bisa ditunda. Mendengarnya, Acha marah.
“Pa ! Iel meninggal ! Papa ngerti nggak sih? Kenapa papa masih mikirin kerja juga sih? Kenapa pa? papa nggak sedih apa !” bentak Caca kasar, Kevin menahannya. Vania? Tengah ditenangkan Aldo di lantai atas, kamar Gabriel dan Caca.
“Udah, Ca” kata Kevin lembut.
“Vin, dia nggak ngerti !” sahut Caca masih dengan berurai air mata.
“Ca, papa ngerti. Ngerti, tapi ini benar-benar nggak bisa ditinggalkan, pemakaman Iel juga sudah selesai. Jadi setelah ini papa dan mama harus berangkat lagi”
“Papa ! masih sempetnya ya papa mikirin kerjaan ? Ah, Caca nggak mau tau lagi, semua terserah papa”
“Maaf Ca…”
Caca lari ke kamar Gabriel yang sekarang jadi kamar Kevin.
“Kevin, jelasin ya ke Caca. Om pergi dulu sama tante”
“Iya om, pasti”
***
Malam penuh duka, Caca termenung di balkon kamarnya. Dipandanginya foto kakak kandungnya itu dalam. Satu yang nggak pernah dia ucapkan kata “kakak” .
Kevvin masuk ke kamar Caca.
“Ca.. ini ada titipan dari Gabriel”
Caca menoleh, “Apa?”
“Surat, ini” Kevin menyerahkan surat itu. Masih ada sedikit bercak darah di ujung kertasnya.
“Dibaca?” tanya Caca. Agaknya otaknya jadi error setelah menagis seharian.
“Iya, kita baca berdua ya?” tawar Kevin
“Kakak yang bacain aja”
“Kakak?”
“Bolehkan gue manggil elo kakak? Mulai sekarang kan lo kakak gue, gue nggak mau ngulang kesalahan yang sama. Gue mau manggil elo dengan sebutan kakak”
Kevin menatap Caca iba, “Boleh. Gue seneng kok punya adik”
“Baca kak”
“Iya”


Untuk Caca…
Yang cantik, yang manis, yang pinter, yang lucu
Tapi juga…
Yang ngeselin, yang cengeng, yang nyebelin, yang cerewet
Caca, adikku tersayang. Ejieee, bahasa gue romantis amat ya?
Caca, maafin gue ya kalau selama ini gue nggak pernah mau cerita ada apa sebenarnya. Maafin gue yang nggak pernah mau cerita masalah gue ke elo. Itu semua karena gue nggak mau ngeliat elo nangis, Ca. Gue nggak suka liat cewek nangis terutama elo, mama, dan tentu saja Vania. Hehehe … tapi gue selalu cerita kan kalau gue lagi seneng ? walaupun setelah itu lo bakalan ketawa terus dan habis-habisan ngeledekin gue karena ulah konyol gue.
Gue akan cerita sekarang, tapi lewat surat ini aja nggakpapa ya?
Soalnya saat ini pasti gue udah pergi jauh Ca, lo udah nggak bisa liat gue lagi sekarang. Eh, bisa deng, liat foto gue aja kalau kangen sama gue…
Langsung aja ya Ca..
Gini Ca, tahun terakhir gue tinggal di Amerika kemarin, gue sempat check-up. Itu semua gue lakuin karena dua tahun terakhir gue disana, gue sering mimisan, demam, yaa semacam itulah. Pertamanya gue kira cuma masuk angin biasa atau demam biasa. Kalo mimisan yaa mungkin karena gue kedingingan kali ya, makanya gue jadi sering pake jaket lebih sering dibanding biasanya setelah itu. Sebab lain gue mau disuruh check-up adalah saat itu ada salah paham antara gue dan Vania. Vania bilang, “aku mau maafin kamu, tapi kamu harus periksain keadaan kamu sekarang. Aku nggak mau keadaan kamu tambah parah”. Ya karena itulah gue check-up ke dokter. Sebenarnya salah paham antara gue dan Vania juga karena Vania cemburu berat sama gue. Asal lo tau aja ya Ca, gue terkenal ganteng sama pinter disana, di sekolah gue. Jadi ya banyak yang sms gue, nelfon gue. Dan Vania cemburu banget. Tapi nggakpapalah, tandanya Vania sayang kan sama gue, Ca?
Seminggu setelah gue check-up, gue ambil hasilnya di rumah sakit. Tapi yang nggak gue sangka sama sekali adalah hasil dari uji lab tersebut. Dan lo tau Ca? Hasil dari lab itu menunjukkan bahkan meng-capslock besar-besar bahwa gue, mengidap penyakit kanker hati stadium 2. Tapi gue juga nggak nyangka sebulan setelahnya stadium itu naik jadi stadium 3. Wow, separah dan sedahsyat itukah penyakit kanker yang sering gue denger dan mematikan itu?
Oke, fine. Akhirnya gue mutusin untuk pulang ke Indonesia. Gue mau ngabisin sisa waktu gue sama keluarga gue, sama Vania juga. Salah satu penyebab gue pulang ke Indonesia juga karena Vania mau ngelanjutin SMAnya di Indonesia. Selain itu, gue kangen sama keluarga, Ca. Gue kangen suasana rumah, kangen makan bersama walau itu jarang. Kangen berantem sama lo, kangen sama masakan mama, kangen sama cerita-cerita konyol lo, bahkan gue… kangen sama amarah papa. Gue kangen papa ,Ca. Papa yang sibuk sama kerjaannya.
Keluarga kita yang di Amerika juga nggak tau tentang keadaan gue. Jadi jangan tanya mereka, mereka bener-bener nggak tau apa-apa soal gue. Gue udah cukup bahagia tinggal sama mereka dengan keadaan yang sederhana. Gue tau mereka banyak masalah, terutama di hal keuangan. Dan gue juga memutuskan kerja sambilan disana. Itu sebabnya gue sering pulang malam. Lo dan papa-mama juga nggak tau itu kan, Ca? Karena gue juga nggak mau ngerepotin papa-mama. Yang gue mau, papa-mama udah cukup bayarin sekolah gue disini aja udah cukup. Uang saku yang papa-mama kasih juga cukup buat jajan gue yang nggak banyak. Sisanya gue tabung. Dan tabungan itu di tahun terkahir hampir habis karena biaya check-up dan obat kanker yang sama sekali nggak murah.
Kalo lo tanya, “kenapa lo nggak kemo?”. Gue bisa jawab. Gue tau keluarga kita tergolong sederhana , Ca. Gaji papa udah cukup buat bayar sekolah gue, eh salah, sekolah lo, biaya hidup keluarga kita, uang saku gue buat di Amerika. Dan sisa gaji papa juga harus ditabung kan untuk di masa depan? Gue nggak mau nambah beban pikiran papa-mama. Gue nggak mau papa lebih memeras otaknya lagi untuk bagaimana caranya punya uang lebih untuk biaya-in gue kemoterapi. Liat aja papa sekarang. Kita udah mau kuliah, dia sibuk terus kan? Itu semua buat biaya sekolah kita doing, Ca.
Selain itu, gue juga nggak mau botak. Oke untuk alasan yang terakhir terasa konyol dimata gue, termasuk dimata lo juga. Pasti lo ketawa kan ?! hhahaha :D
Vania nggak tau juga soal ini. Gue nggak mau dia sedih. Gue juga nggak buat surat buat Vania. Karena gue nggak tau mau ngomong apa buat dia. Sampaikan kata “maaf” gue buat dia. Gue tau gue udah beribu kali bilang itu ke dia. Sudahlah. Sampaikan saja kata “maaf” gue tadi ke Vania.
Caca, gue capek nulisnya nih. Liat aja tulisan gue udah amburadul gini. Udah acak-acakan.
Terakhir, satu kata buat kalian semua, termasuk lo, Ca. Adik gue yang paling gue sayang. Sebenernya gue rada nggak rela juga nitipin lo ke Aldo. Secara anaknya rada gila gitu. Hehe, maaf Ca. Tapi mau nggak mau gue harus relain lo ke Aldo. Karena gue nggak bisa selamanya jagain lo. Kalo bisa, pasti dengan senang hati gue jagain lo, Ca. Dan gue juga ngirimin pengganti gue kok.
Gue juga nggak rela ngelepas Vania. Tapi, hidup Vania masih panjang. Masih sangat panjang. Bilang ke dia, gue sayang, cinta, suka sama dia. Bilang ke dia, dia cinta pertama gue. Bilang ke dia, dia yang bikin gue ngerti hidup ini dengan cinta di dalamnya. Karena gue selama ini melihat kehidupan gue dengan kesendirian. Tapi semenjak gue kenal Vania dengan tampang gue yang kusut bener waktu itu, gue jadi ngerti semuanya. Lo udah gue ceritain kan waktu gue pertama kali ketemu Vania dan gue langsung suka? Kalo lupa, minta ceritain Vania aja ya. Tapi jangan dalam keadaan sedih-sedih. Kalo sedih, mendingan nggak usah cerita. Gue udah bilang kan? Gue nggak suka liat cewek nangis apalagi kalian berdua. Ditambah mama tentunya.
Gue sadar betul Ca…
Gue udah nggak bisa ngehibur lo lagi, Ca.
Gue udah nggak bisa ngelindungin lo lagi, Ca.
Gue udah nggak bisa ada di sisi lo lagi, Ca.
Gue udah nggak bisa ngebela lo lagi, Ca.
Gue udah nggak bisa ngejagain lo lagi, Ca.
Tapi…
Gue akan selalu ada di hati lo.
Jadi bintang paling terang di langit.
Senyum gue akan selalu terlihat di awan.
Foto gue jadi pajangan paling keren di kamar lo.
Oke, untuk yang terakhir tadi konyol dan gila. Tapi emang iya kok, gue ganteng dan keren. Jangan lupa gue juga pinter. Buktinya gue dapet beasiswa sampe lulus perguruan tinggi. Tapi waktu ngehalang gue untuk menyelesaikan beasiswa itu. Jangan lupa juga gue setia. Setia sama Vania. Lo juga harus gitu ya? Setia sama Aldo.
Maaf . Cuma itu yang bisa gue kasih ke lo. Ke mama. Ke papa. Ke Vania. Ke semuanya.
Oya, bakal ada temen gue dari Amerika juga yang bakal pindah ke Indonesia. Temen gue. Temen baik gue. Bisa dibilang dia anak angkat keluarga kita yang di Amerika. Dia bakalan tinggal sama lo. Gue tau Aldo bakal mencak-mencak. Jelas aja. Temen gue itu ganteng. Keren deh pokoknya. Tadinya malah gue pikir, lo sama dia aja. Eh nggak tau nya lo udah sama Aldo.
Namanya Kevin. Inget nggak orang yang gue ajak ke rumah 2 tahun lalu? Gimana? Keren kan?
Dia udah kenal Vania kok. Dia juga orang Indonesia. Kevin udah kenal Vania jauh sebelum gue kenal Vania. Hm, ralat. Dia kenal setahun sebelum gue kenal Vania. Gue di kenalin sama Vania juga sama Kevin. Padahal waktu itu gue udah kenal pas di Indonesia. Tapi ya gue hargain usaha Kevin lah.
Ya ampun, Ca. Pegel banget gue. Udah nggak kuat megang pulpen lagi nih. Liat aja, makin keriting kan tulisan gue. Kalo dijadiin mie kayanya enak. Hehehe :p
Udah ah Ca. Jangan nangis dong..
Gue tau lo pasti nangis sekarang. Jangan lupa tunjukkin surat ini ke Vania ya. Ke papa-mama juga boleh. Ke Kevin juga boleh. Ke siapapun yang kenal gue juga boleh. Simpen surat ini selalu ya? Ini permintaan terakhir gue.
Makasih ya, Ca. Lo udah jadi penyemangat hidup terbesar gue. Jadi orang yang paling sering bikin gue ketawa dengan lelucon konyol yang lo dapet dari Aldo. Gue jadi rada nggak rela (lagi) untuk pergi. Tapi sekali lagi, maaf, gue harus pergi.
Sering-sering ya dateng ke rumah gue. Rumah terakhir. Jangan rumah yang di Amerika.
Oya, jangan lupa belajar. Belajar yang rajin. Kan mau UN. Gue mau kamu dapet nem sempurna. Kalo Aldo ngajak lo jalan, tenang aja. Gue udah siapin Kevin. Kevin yang paling tau gue. Penyakit gue juga hanya dia yang tau. Maaf tadi salah bilang, cuma Kevin yang tau di keluarga kita mau yang di Amerika atau di Indonesia.
Gue harap, kehadiran Kevin bisa bikin lo nemuin sosok kakak selain gue. Dia seumuran sama kita, cuma sekolahnya kecepetan setahun. Jadi dia udah kuliah. Dia beneran persis sama gue. Gue harap, Kevin bakal bisa gantiin sosok kakak buat lo. Walau gue tau, gue nggak akan pernah terganti kan? Gue tau kok, gue kan baca diary lo, Cha. Hehehe, maaf ya…
Oh ya, terakhir, soal Vania. Bilang ke Kevin, gue mau dia yang jagain Vania. Yang gantiin posisi gue di hatinya. Bilang ke Kevin, ini permintaan terakhir gue. Bilang ke Vania, dia nggak perlu repot-repot cari pengganti gue, udah ada Kevin.
Udah beneran ah , Ca. Daritadi bilang udahan nggak udahan-udahan. Bye.

Tertanda
Kakak terhebat sepanjang masa,


Gabriel


Tangis Caca makin pecah kala mendengar semuanya. Kevin mengusap air matanya sambil tersenyum. Senyum pahit.
“Kak, sesuai apa yang diinginkan sama Iel. Kasih tau semua ini ke Vania, Aldo, sama Vano”
“Vano siapa?”
“Temen sebangkunya Iel, pasti dia tertekan juga kan?”
“Hm, kakak fotokopi trus kakak kirim deh ya? Ke papa-mama, ke Vano, ke Van..” tawar Kevin
“Vania sama Aldo biar kita samperin aja Kak ke rumah mereka”
“Kapan?”
"Minggu depan, aku nggak yakin dia kuat kalo besok"
“Yaudah, kamu tidur ya. Ini, suratnya simpen, jangan sampe lecek”
***
Kevin menatap semua foto Gabriel yang ada di kamar Gabriel yang telah berganti majikan, menjadi dirinya.
“Gabriel, lo yakin?..” tanyanya pada foto Gabriel yang terpampang besar di kamarnya.
“Lo yakin nitipin Vania buat gue?”
Pikirannya melayang ke tahun yang ia lalui bersama Gabriel.
“Yel, gue akan berusaha. Jadi kakak yang baik buat Caca, dan mulai menyayangi Vania semampu gue…” air mata keluar begitu saja dari mata sipitnya.
***
“Ini semua Gabriel yang nulis? Kapan?” Tanya Vania setelah membaca surat Gabriel.
“Sebelum lo dateng kemaren, dia sempet siuman sebentar dan minta gue ngasih pulpen sama kertas. Nggak taunya dia nitip surat ini dan minta gue ngasih ini ke Caca” jelas Kevin.
“Kevin, gue nggak bisa buka hati gue sekarang, tapi gue akan berusaha..” ucap Vania.
“Gue juga, gue nggak bisa secepat itu dan semudah itu untuk sayang sama lo” balas Kevin. Dia nggak bohong.
“gue juga bakal usaha..” sambungnya.
“Kita ke rumah Iel yuk?” usul Caca sambil tersenyum. Sudah tak ada lagi tangis. Sudah tak ada lagi rasa kesalnya pada papa. Ia sudah rela sepenuhnya.
“Yuk” sahut Vania sambil menghapus air matanya dan meraih tangan Kevin lalu tersenyum. Kevin bingung, “Nia?” matanya melirik ke arah tangannya.
“Gue udah bilang, gue akan berusaha” sahut Vania santai. Tampaknya dia juga seperti Caca. Rela. Mau gimana lagi?
***
“Yel, nih aku udah coba buat sayang sama Kevin” ucap Vania memecah keheningan yang tercipta di pemakaman itu.
“Gue juga, yel. Gue akan coba” sambut Kevin
“Gue akan setia sama Caca, yel” janji Aldo
“Gue akan belajar serius, yel” kata Caca lirih
Tanpa mereka sadari, awan membentuk seutas senyum. Mewakilkan senyum Gabriel yang kini sudah tidak dapat dilihat dengan nyata.
***
Malam itu, Caca dan Kevin duduk santai di balkon rumah. Memerhatikan bintang-bintang yang bertebaran luas. Tumben banyak bintang, biasanya jarang.
“Banyak bintang ya kak, apa iel ada di salah satu bintang itu?” Tanya Caca
“Iel nggak mungkin jadi bintang Ca, tapi dia menyampaikan sinar bahagianya dan ketenangannya disana lewat bintang”
“Hm, udahlah. Caca tidur duluan ya” pamit Caca setelah puas memandangi bintang
“iya”
Mata Kevin mengekori langkah Caca yang sampai di depan kamar tidurnya. Menatap bingkai foto yang ada di meja sebelah pintu kamarnya.
“Kak iel..” lirihnya. Caca tersadar, mengambil nafas dan menghembuskannya. Lalu masuk ke kamarnya
Kevin menatap bintang-bintang itu lirih.
“Gabriel. Gue adalah gue. Lo adalah lo. Gue akan berusaha menjalankan tugas lo. Tanpa mengubah posisi lo di hati mereka. Caca dan Vania. Lo beruntung ya yel. Gue janji, gue akan usaha semampu gue”
Kevin tersenyum dan menutup pintu luar serta mematikan seluruh lampu yang ada di dalam rumah.
Kevin berhenti sebentar menatap foto Gabriel. Dan tersenyum, lalu mematikan lampu terakhir yang masih menyala.
***
Pagi hari, UN pertama untuk SMA dimulai.
“Good luck ya Ca” kevin tersenyum.
“Thanks kak” ujar Caca kemudian berlalu masuk ke kelas. Kevin terdiam sebentar. Vania datang bersama Aldo.
Kevin memberi senyumnya pada Vania dan Aldo. Aldo membalasnya lalu mengejar Caca yang sudah lebih dulu masuk ke kelas. Sedangkan Vania mengampirinya.
“Gue rasa, gue udah siap buka hati gue buat lo” ujar Vania
Kevin tersenyum, lalu menatap Vania. “Do you wanna be my girl?”
Vania mengangguk, “Yes, I do”
“Good luck ya Van, sana masuk kelas. Ujian yang bener” kata Kevin
“Makasih ya” Vania tersenyum dan kemudian berlalu.
Kevin tersenyum dan mendongakkan kepalanya ke atas.
“Gue yakin, lo tersenyum sekarang yel. Gue akan mulai semuanya mulai hari ini dan selamanya”
Kevin tersadar, awan itu membentuk seulas senyum.
“Wakil dari senyum lo awan ya yel? Sejak kapan lo jadi puitis gitu?” gumamnya lalu tertawa kecil.
***
Kakak…
Sampai kapanpun
Posisimu tak akan pernah terganti
Meski kini ada sosok kakak baru di depanku
Kakak…
Terima kasih kau telah mengirimnya
Tanpanya. Mungkin mataku masih bercucuran air mata
Sosoknya mengingatkanku padamu
Kakak…
Tiga kata dan dua kalimat untukmu
Kau takkan terganti dan aku sayang padamu
Kau kakak terbaik sepanjang masa hidupku

Marissa



Caca menutup suratnya dan menyelipkannya di bawah bantal. Berharap malam itu ia bertemu dengan Gabriel di alam mimpinya.
***
Vania memandang bintang di langit.
“kamu akan tetap hidup di hati aku yel, dan Kevin akan nemenin kamu di hati aku” gumamnya pelan saat lagu yang seakan menjadi backsound keadaannya saat pemakaman Gabriel terputar.


Usap air matamu
Dekap erat tubuhku
Tatap aku sepuas hatimu
Nikmati detik demi detik
yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi
Hirup aroma tubuhku
yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu
Gundahmu…
Nyanyikan lagu indah
Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali
Nyanyikan lagu indah
Tuk melepasku pergi dan tak kembali
Nikmati detik demi detik
yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi
Hirup aroma tubuhku
yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu
Gundahmu…
Nyanyikan lagu indah
Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali
Nyanyikan lagu indah
Tuk melepasku pergi dan tak kembali
Nyanyikan lagu indah
Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali
Nyanyikan lagu indah
Tuk melepasku pergi …
Ku pergi…
Nyanyikan lagu indah
Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali
(Mungkinkah aku kembali)
Nyanyikan lagu indah
Tuk melepasku pergi dan tak kembali


Vania menutup matanya. Dan membukanya kembali. Kemudian menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tak lama Vania pun terlelap disana masih dengan radio yang menyala. Radio itu seakan mengerti keadaan hati Vania dan kembali memutar lagu yang sama dengan suasana hati Vania.


Tak Pernah Aku Membayangkannya
Bila Insan Sedang Patah Hati
Kali Ini Ku Rasakan Sesungguhnya


Siang Hariku Bagaikan Malam
Pelangipun Berwarnakan Kelam
Inikah Yang Dinamakan Patah Hati



Tak Ingin Kujalani Cinta Yang Begini
Yang Kutahu Cinta Itu Indah
Tak Ingin Kurasakan Jiwa Yang Tak Tenang
Kumau Kau Tetap Disisiku


Siang Hariku Bagaikan Malam
Pelangipun Berwarnakan Kelam
Inikah Yang Dinamakan Patah Hati



Tak Ingin Kujalani Cinta Yang Begini
Yang Kutahu Cinta Itu Indah
Tak Ingin Kurasakan Jiwa Yang Tak Tenang
Kumau Kau Tetap Disisiku


Dan Tak Ingin Kurasakan Jiwa Yang Tak Tenang
Kumau Kau Tetap Disisiku

Siang Hariku Bagaikan Malam
Pelangipun Berwarnakan Kelam



***
Woow, ini cerpen pertama yang selesai sepanjang cerita yang aku buat.
Ini terinspirasi dari kakak-kakak aku, ada mas, ada abang, ada kakak, dll.
Sebenernya juga terbesit rasa aneh pas bacanya, konyol.
Cerpen ini aku persembahkan buat kakak-kakak di seluruh dunia 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer